بسم
الله الرحمن الرحيم
AL
ISLAM
معرفة
الإسلام
Muqadimah
Ketika
Allah SWT menjadikan Islam sebagai jalan kehidupan bagi kaum
muslimin, tentulah Allah sudah mengetahui akan berbagai hal yang akan
dihadapi oleh manusia (baca; kaum muslimin) itu sendiri. Karena Islam
menginginkan adanya penyelesaian dan kedamaian atas segala hal yang
menimpa manusia dalam kehidupan mereka. Dan seperti itulah
sesungguhnya profil al-Islam. Islam merupakan pegangan hidup manusia
yang mampu mengantarkan mereka pada kebahagiaan hakiki, baik di dunia
maupun di akhirat, serta mampu mengentaskan segala problematika yang
mereka hadapi.
Sejarah
telah memperlihatkan kepada kita, betapa Islam mampu menjadi poros
dunia yang memimpin serta menguasai peradaban dalam waktu yang
relatif lama. Dan jika diperhatikan, kejayaan dan kemajuan Islam
sangat identik dengan kekomitmenan mereka terhadap Islam. Demikian
juga sebaliknya, ketika komitmen tersebut telah meluntur maka
kejayaan Islampun mulai pudar, seiring pudarnya keimanan kaum
muslimin. Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya telah mengingatkan
kepada kita:
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ :
تَرَكْتُ
فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا
تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ
وَسُنَّةَ نَبِيِهِ
(وراه
مالمك)
‘Rasulullah
SAW bersabda, ‘Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, yang kalian
tidak akan pernah tersesat selagi masih berpegang teguh pada
keduanya; yaitu kitabullah (al-Qur’an) dan sunah nabinya
(al-Hadits).’ (HR. Imam Malik)
Kemunduran kaum
muslimin juga merupakan bagian dari ‘kesesatan’ sebagaimana yang
digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits di atas. Karena dalam
kondisi mundur, sangat mudah bagi musuh-musuh Islam untuk melancarkan
berbagai hujaman kepada Islam, baik berbentuk politik, ekonomi,
militer, pendidikan dan lain sebagainya, sebagaimana yang terjadi
sekarang ini. Kemudian kemunduran seperti inipun disebabkan karena
mengendurnya komitmen kaum muslimin terhadap Islam. Untuk itulah,
perlu kiranya bagi kita untuk mengkaji ulang tentang hakekat dinul
Islam
secara utuh dan menyeluruh agar kita dapat kembali meraih kejayaan
yang telah hilang dari tangan kita.
Mengenal
Islam
Dari
segi bahasa, Islam berasal dari kata aslama
yang berakar dari kata salama.
Kata Islam merupakan bentuk mashdar
(infinitif) dari kata aslama
ini.
الإسلام مصدر من
أسلم يسلم إسلاما
Ditinjau
dari segi
bahasanya
yang dikaitkan dengan asal katanya, Islam memiliki beberapa
pengertian, diantaranya adalah:
1.
Berasal
dari ‘salm’
(السَّلْم)
yang berarti damai.
Dalam al-Qur’an
Allah SWT berfirman (QS. 8 : 61)
وَإِنْ
جَنَحُوا
لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ
لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ
هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan
jika mereka condong kepada perdamaian,
maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Kata ‘salm’
dalam ayat di atas memiliki arti damai atau perdamaian. Dan ini
merupakan salah satu makna dan ciri dari Islam, yaitu bahwa Islam
merupakan agama yang senantiasa membawa umat manusia pada perdamaian.
Dalam sebuah ayat Allah SWT berfirman : (QS. 49 : 9)
وَإِنْ
طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى
الأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي
حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ
فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Dan
jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min berperang maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu
berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan
yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah
Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka
damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Sebagai salah satu
bukti bahwa Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi
perdamaian adalah bahwa Islam baru memperbolehkan kaum muslimin
berperang jika mereka diperangi oleh para musuh-musuhnya. Dalam
Al-Qur’an Allah berfirman: (QS. 22 : 39)
أُذِنَ
لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ
ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ
لَقَدِيرٌ
“Telah
diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena
sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah,
benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.”
2.
Berasal
dari kata ‘aslama’
(أَسْلَمَ)
yang berarti menyerah.
Hal ini
menunjukkan bahwa seorang pemeluk Islam merupakan seseorang yang
secara ikhlas menyerahkan jiwa dan raganya hanya kepada Allah SWT.
Penyerahan diri seperti ini ditandai dengan pelaksanaan terhadap apa
yang Allah perintahkan serta menjauhi segala larangan-Nya.
Menunjukkan makna penyerahan ini, Allah berfirman dalam al-Qur’an:
(QS. 4 : 125)
وَمَنْ
أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ
وَجْهَهُ
لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ
مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَاتَّخَذَ
اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً
“Dan
siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas
menyerahkan dirinya
kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti
agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi
kesayanganNya.”
Sebagai seorang
muslim, sesungguhnya kita diminta Allah untuk menyerahkan seluruh
jiwa dan raga kita hanya kepada-Nya. Dalam sebuah ayat Allah
berfirman: (QS. 6 : 162)
قُلْ
إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ
وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah:
"Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah
untuk Allah, Tuhan semesta alam.”
Karena sesungguhnya
jika kita renungkan, bahwa seluruh makhluk Allah baik yang ada di
bumi maupun di langit, mereka semua memasrahkan dirinya kepada Allah
SWT, dengan mengikuti sunnatullah-Nya. Allah berfirman: (QS. 3 : 83)
:
أَفَغَيْرَ
دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ
مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ طَوْعًا
وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ
“Maka
apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal
kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi,
baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka
dikembalikan.”
Oleh karena itulah,
sebagai seorang muslim, hendaknya kita menyerahkan diri kita kepada
aturan Islam dan juga kepada kehendak Allah SWT. Karena insya Allah
dengan demikian akan menjadikan hati kita tentram, damai dan tenang
(baca; mutma’inah).
3.
Berasal
dari kata istaslama–mustaslimun
(اسْتَسْلَمَ
- مُسْتَسْلِمُوْنَ):
penyerahan total kepada Allah.
Dalam
Al-Qur’an Allah berfirman (QS. 37 : 26)
بَلْ
هُمُ الْيَوْمَ مُسْتَسْلِمُونَ
“Bahkan
mereka pada hari itu menyerah
diri.”
Makna ini
sebenarnya sebagai penguat makna di atas (poin kedua). Karena sebagai
seorang muslim, kita benar-benar diminta untuk secara total
menyerahkan seluruh jiwa dan raga serta harta atau apapun yang kita
miliki, hanya kepada Allah
SWT.
Dimensi atau bentuk-bentuk penyerahan diri secara total kepada Allah
adalah seperti dalam setiap gerak gerik, pemikiran, tingkah laku,
pekerjaan, kesenangan, kebahagiaan, kesusahan, kesedihan dan lain
sebagainya hanya kepada Allah SWT. Termasuk juga berbagai sisi
kehidupan yang bersinggungan dengan orang lain, seperti sisi politik,
ekonomi, pendidikan, sosial, kebudayaan dan lain sebagainya, semuanya
dilakukan hanya karena Allah dan menggunakan manhaj
Allah. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS. 2 : 208)
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي
السِّلْمِ كَافَّةً وَلاَ تَتَّبِعُوا
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ
عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara
keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”
Masuk
Islam secara keseluruhan berarti menyerahkan diri secara total kepada
Allah dalam melaksanakan segala yang diperintahkan dan dalam menjauhi
segala yang dilarang-Nya.
4.
Berasal
dari kata ‘saliim’
(سَلِيْمٌ)
yang berarti bersih dan suci.
Mengenai makna ini,
Allah berfirman dalam Al-Qur’an (QS. 26 : 89):
إِلاَّ
مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“Kecuali orang-orang
yang menghadap Allah dengan hati yang
bersih.”
Dalam ayat lain Allah
mengatakan (QS. 37: 84)
إِذْ
جَاءَ رَبَّهُ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“(Ingatlah) ketika
ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang
suci.”
Hal ini
menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang suci dan bersih, yang
mampu menjadikan para pemeluknya untuk memiliki kebersihan dan
kesucian jiwa yang dapat mengantarkannya pada kebahagiaan hakiki,
baik di dunia maupun di akhirat. Karena pada hakekatnya, ketika Allah
SWT mensyariatkan berbagai ajaran Islam, adalah karena tujuan
utamanya untuk mensucikan dan membersihkan jiwa manusia. Allah
berfirman: (QS. 5 : 6)
مَا
يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ
مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ
وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Allah
sesungguhnya tidak menghendaki dari (adanya syari’at Islam) itu
hendak menyulitkan kamu, tetapi sesungguhnya Dia berkeinginan untuk
membersihkan kamu dan menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu
bersyukur.”
5.
Berasal
dari ‘salam’
(سَلاَمٌ)
yang berarti selamat dan sejahtera.
Allah berfirman dalam
Al-Qur’an: (QS. 19 : 47)
قَالَ
سَلاَمٌ عَلَيْكَ
سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي إِنَّهُ
كَانَ بِي حَفِيًّا
Berkata
Ibrahim: "Semoga keselamatan
dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Tuhanku.
Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.
Maknanya
adalah bahwa Islam merupakan agama yang senantiasa membawa umat
manusia pada keselamatan dan kesejahteraan. Karena Islam memberikan
kesejahteraan dan juga keselamatan pada
setiap
insan.
Adapun dari segi
istilah,
(ditinjau dari sisi subyek manusia terhadap dinul Islam), Islam
adalah ‘ketundukan seorang hamba kepada wahyu Ilahi yang diturunkan
kepada para nabi dan rasul khususnya Muhammad SAW guna dijadikan
pedoman hidup dan juga sebagai hukum/ aturan Allah SWT yang dapat
membimbing umat manusia ke jalan yang lurus, menuju ke kebahagiaan
dunia dan akhirat.’
Definisi
di atas, memuat beberapa poin penting yang dilandasi dan didasari
oleh ayat-ayat Al-Qur’an. Diantara poin-poinnya adalah:
1.
Islam
sebagai wahyu ilahi (الوَحْيُ
اْلإِلَهِي)
Mengenai hal ini,
Allah berfirman QS. 53 : 3-4 :
وَمَا
يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى *
إِنْ
هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى
“Dan
tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).”
2.
Diturunkan
kepada nabi dan rasul (khususnya Rasulullah SAW) (دِيْنُ
اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ)
Membenarkan hal ini,
firman Allah SWT (QS. 3 : 84)
قُلْ
آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ
عَلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ عَلَى
إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ
وَيَعْقُوبَ وَالأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ
مُوسَى وَعِيسَى وَالنَّبِيُّونَ مِنْ
رَبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ
مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
“Katakanlah:
"Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada
kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma`il, Ishaq, Ya`qub, dan
anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, `Isa dan para nabi
dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara
mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri."
3.
Sebagai
pedoman hidup (مِنْهَاجُ
الْحَيَاةِ)
Allah berfirman (QS.
45 : 20)
هَذَا
بَصَائِرُ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ
لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Al Qur'an
ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
meyakini.
4.
Mencakup
hukum-hukum Allah dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW
(أَحْكَامُ
اللهِ فِيْ كِتَابِهِ وَسُنَّةُ رَسُوْلِهِ)
Allah
berfirman (QS. 5 : 49-50)
وَأَنِ
احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللَّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ
وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ
بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ
بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا
مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ *
أَفَحُكْمَ
الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ
أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ
يُوقِنُونَ
“Dan
hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan
kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika
mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan
musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan
sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah
hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang
lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”
5.
Membimbing
manusia ke jalan yang lurus. (الصِّرَاطُ
الْمُسْتَقِيْمُ)
Allah berfirman (QS. 6
: 153)
وَأَنَّ
هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ
وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ
بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ
بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan
bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka
ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain),
karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang
demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.”
6.
Menuju
kebahagiaan dunia dan akhirat.(سَلاَمَةُ
الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ)
Allah berfirman (QS.
16 : 97)
مَنْ
عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى
وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ
حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ
أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ
Barangsiapa
yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.
Keuniverselan
Islam
Islam
merupakan pedoman hidup yang universal, yang mencakup segala aspek
kehidupan manusia dalam semua dimensi waktu, tempat dan sisi
kehidupan manusia.
1.
Mencakup
seluruh dimensi waktu
Artinya bahwa Islam
bukanlah suatu agama yang diperuntukkan untuk umat manusia pada masa
waktu tertentu, sebagaimana syariat para nabi dan rasul yang
terdahulu. Namun Islam merupakan pedoman hidup yang abadi, hingga
akhir zaman. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an (QS. 21:107):
وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً
لِلْعَالَمِينَ
“Dan
tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam.”
Rahmat bagi semesta
alam artinya bagi seluruh makhluk Allah di muka bumi ini sepanjang
masa. Rasulullah SAW sendiripun diutus sebagai nabi dan rasul
terakhir yang ada di muka bumi, yang menyempurnakan syariat nabi-nabi
terdahulu. Allah berfirman (QS. 33 : 40)
مَا
كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ
رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ
وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ
بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Muhammad
itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu,
tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Sebagai nabi dan rasul
terakhir berarti tidak akan ada lagi nabi dan rasul yang lain yang
akan menasakh
(menghapus) syariat yang dibawa oleh Rasulullah SAW, sebagaimana yang
Rasulullah SAW lakukan terhadap syariat para nabi dan rasul yang
lain. Hal ini juga menunjukkan bahwa risalah nabi Muhammad merupakan
risalah abadi hingga akhir zaman.
2.
Mencakup
seluruh dimensi ruang
Maknanya adalah bahwa
Islam merupakan pedoman hidup yang tidak dibatasi oleh
batasan-batasan geografis tertentu, seperti hanya disyariatkan untuk
suku atau bangsa tertentu. Namun Islam merupakan agama yang
disyariatkan untuk seluruh umat manusia, dengan berbagai bangsa dan
sukunya yang berbeda-beda. Allah SWT berfirman (QS. 34 :28)
وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَافَّةً لِلنَّاسِ
بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
“Dan
Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya
sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi
kebanyakan manusia tiada mengetahui.”
Dari ayat di atas kita
dapat mengambil kesimpulan bahwa Al-Qur’an tidak hanya diturunkan
untuk orang Arab secara khusus, namun juga untuk orang Eropa, Rusia,
Asia, Cina dan lain sebagainya.
3.
Mencakup
semua sisi kehidupan manusia.
Maknanya adalah bahwa
Islam merupakan pedoman hidup manusia yang mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia, dan tidak hanya agama yang mengatur peribadahan
saja sebagaimana yang banyak difahami oleh kebanyakan manusia pada
saat ini. Sesungguhnya Islam mencakup seluruh aspek dan dimensi
kehidupan manusia, diantaranya adalah:
- Peribadahan
QS. 51 : 56
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنْسَ إِلاَّ
لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku.
- Akhlak (Etika/ Tata krama/ Budi Pekerti)
Dalam sebuah hadits,
Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ
الأَخْلاَقِ
“Bahwasanya
aku diutus adalah untuk menyempurnakan kebaikan akhlak/ moral.”
(HR.
Ahmad)
- Ekonomi
QS. 59 : 7
كَيْ
لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأَغْنِيَاءِ
مِنْكُمْ
“supaya
harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di
antara kamu.“
- Politik
QS. 5 : 51
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا
الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ
بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ
يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ
مِنْهُمْ
إِنَّ
اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ
الظَّالِمِينَ
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi
dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah
pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu
mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang zalim.
- Sosial
QS. 5 : 2
وَتَعَاوَنُوا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ
تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan
tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan janganlah
kalian tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.”
- Pendidikan
QS. 31 : 13
وَإِذْ
قَالَ لُقْمَانُ لإِبْنِهِ وَهُوَ
يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لاَ تُشْرِكْ
بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ
عَظِيمٌ
“Dan
(ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan
(Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezaliman yang besar".
Karakteristik
Islam
Sebagai
agama terakhir yang sempurna, Islam memiliki karakteristik (baca;
khasa’ish)
yang membedakannya dengan agama-agama yang terdahulu. Diantara
karakteristik Islam adalah:
Pertama :
Robbaniyah (الربانية)
Karakter pertama dinul
Islam,
adalah bahwa Islam merupakan agama yang bersifat robbaniyah,
yaitu bahwa sumber ajaran Islam, pembuat syari’at dalam hukum
(baca; perundang-undangan) dan manhajnya
adalah Allah SWT, yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW, baik melalui
Al-Qur’an maupun sunnah. Allah SWT berfirman QS. 32 : 1-3:
الم
*
تَنْزِيلُ
الْكِتَابِ لاَ رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ
الْعَالَمِينَ *
أَمْ
يَقُولُونَ افْتَرَاهُ بَلْ هُوَ الْحَقُّ
مِنْ رَبِّكَ لِتُنْذِرَ قَوْمًا مَا
أَتَاهُمْ مِنْ نَذِيرٍ مِنْ قَبْلِكَ
لَعَلَّهُمْ يَهْتَدُونَ*
Alif Laam
Miim. Turunnya Al Qur'an yang tidak ada keraguan padanya, (adalah)
dari Tuhan semesta alam. Tetapi mengapa mereka (orang kafir)
mengatakan: "Dia Muhammad mengada-adakannya". Sebenarnya Al
Qur'an itu adalah kebenaran (yang datang) dari Tuhanmu, agar kamu
memberi peringatan kepada kaum yang belum datang kepada mereka orang
yang memberi peringatan sebelum kamu; mudah-mudahan mereka mendapat
petunjuk.
Dengan karakteristik
ini, Islam sangat berbeda dengan agama manapun yang ada di dunia pada
saat ini. Karena semua agama selain Islam, adalah buatan manusia,
atau paling tidak terdapat campur tangan manusia dalam
pensyariatannya.
Kedua : Syumuliyah
/ universal (الشمولية)
Artinya bahwa
karakteristik Islam adalah bahwa Islam merupakan agama yang universal
yang mencakup segala aspek kehidupan manusia. Menyentuh segenap
dimensi, seperti politik, ekonomi, pendidikan, kebudayaan dsb.
Mengatur manusia dari semenjak bangun tidur hingga tidur kembali.
Merambah pada pensyariatan dari semenjak manusia dilahirkan dari
perut ibu, hingga ia kembali ke perut bumi, dan demikian seterusnya.
Perhatikan firman Allah QS. 2 : 208.
Imam Syahid Hasan
Al-Banna mengemukakan:
“Islam
adalah sistem yang syamil ‘menyeluruh’ mencakup semua aspek
kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemerintah dan umat, moral
dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang,
ilmu pengetahuan dan hukum, materi dan kekayaan alam, penghasilan dan
kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran. Sebagaimana juga
ia adalah aqidah yang murni dan ibadah yang benar, tidak kurang tidak
lebih.”
Ketiga : Tawazun/
Seimbang (التوازن)
Karakter ketiga agama
Islam adalah bahwa Islam merupakan agama yang tawazun
(seimbang). Artinya Islam memperhatikan aspek keseimbangan dalam
segala hal; antara dunia dan akhirat, antara fisik manusia dengan
akal dan hatinya serta antara spiritual dengan material, demikian
seterusnya. Pada intinya dengan tawazun
ini Islam menginginkan tidak adanya ‘ketertindasan’ satu aspek
lantaran ingin memenuhi atau memuaskan aspek lainnya, sebagaimana
yang terdapat dalam agama lain. Seperti tidak menikah karena menjadi
pemuka agamanya, atau meninggalkan dunia karena ingin mendapatkan
akhirat. Konsep Islam adalah bahwa seorang muslim yang baik adalah
seorang muslim yang mempu menunaikan seluruh haknya secara maksimal
dan merata. Hak terhadap Allah, terhadap dirinya sendiri, terhadap
istri dan anaknya, terhadap tetangganya dan demikian seterusnya.
Keempat : Insaniyah
(الإنسانية)
Karakter yang keempat
adalah bahwa Islam merupakan agama yang bersifat insaniyah.
Artinnya bahwa Islam memang Allah jadikan pedoman hidup bagi manusia
yang sesuai dengan sifat dan unsur kemanusiaan. Islam bukan agama
yang disyariatkan untuk malaikat atau jin, sehingga manusia tidak
kuasa atau tidak mampu untuk melaksanakannya. Oleh karenanya, Islam
sangat menjaga aspek-aspek ‘kefitrahan manusia’, dengan berbagai
kelebihan dan kekurangan yang terdapat dalam diri manusia itu
sendiri. Sehingga dari sini, Islam tidak hanya agama yang seolah
dikhususkan untuk para tokoh agamanya saja (baca ; ulama). Namun
dalam Islam semua pemeluknya dapat melaksanakan Islam secara maksimal
dan sempurna. Bahkan bisa jadi, orang awam akan lebih tinggi
derajatnya di hadapan Allah dari pada seorang ahli agama. Karena
dalam Islam yang menjadi standar adalah ketakwaannya kepada Allah.
Kelima : Al-Adalah
/ Keadilan (العدالة)
Karekteristik Islam
berikutnya, bahwa Islam merupakan agama keadilan, yang memiliki
konsep keadilan merata bagi seluruh umat manusia, termasuk bagi orang
yang non muslim, bagi hewan, tumbuhan atau makhluk Allah yang
lainnya. Keadilan merupakan inti dari ajaran Islam, apalagi jika itu
menyangkut orang lain. Allah berfirman: (QS. 5 : 8)
اعْدِلُوا
هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا
تَعْمَلُونَ
“Berbuat
adillah kalian, karena keadilan itu dapat lebih mendekatkan kalian
pada ketaqwaan. Dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kalian kerjakan.”
Inilah beberapa
karakteristik terpenting dari agama Islam. Di luar kelima
karakteristik ini, sesungguhnya masih banyak karakteristik Islam
lainnya. Kelima hal di atas hanyalah sebagai contoh saja.
Penutup
Inilah
sekelumit informasi mengenai Al-Islam, yang tidak lain dan tidak
bukan adalah agama yang benar-benar bersumber dari Allah SWT, yang
tiada keraguan sedikitpun mengenai kebenarannya. Islam merupakan
agama sempurna yang menyempurnakan agama-agama terdahulu yang sudah
banyak dikotori oleh campur tangan pemeluknya sendiri.
Tiada
jalan bagi kita semua melainkan hanya menjadikan Islam sebagai
pegangan hidup dalam segala hal, dalam beribadah, bermuamalah,
berpolitik, berekonomi, berpendidikan, bersosial dan lain sebagainya.
Kebagahian merupakan hal yang insya Allah akan dipetik, oleh
mereka-mereka yang memiliki komitmen untuk melaksanakan Islam secara
kaffah, sebagaimana para pendahulu-pendahulu kita. Semoga Allah
menjadikan kita sebagai hamba-hamab-Nya yang baik. Amiin.
Wallahu A’lam
Bishowab.
By.
Rikza Maulan, Lc., M.Ag.
Bahan Bacaan
Hadiri, Khairuddin.
Klasifikasi
Kandungan Al-Qur’an.
Cet. V – 1996 / 1417 H. Jakarta : Gema Insani Press.
Hawwa, Sa’id.
Al-Islam.
(Terj. Oleh Abu Ridha dan AR Shaleh Tamhid) Cet. I – 2000. Jakarta
: Al-I’tisham Cahaya Umat.
Zaidan, Abdul Karim.
Ushul
al-Da’wah.
Cet. V – 1996/ 1417 H. Beirut – Libanon : Mu’assasatur Risalah.
CD. ROM. Al-Qur’an
6.50 & Al-Hadits.
Syirkah Sakhr li Baramij al-Hasib (1991 – 1997).
CD. ROM. Mausu’ah
Ulama’ al-Islam; Dr. Yusuf al-Qardhawi ; al-Fiqh wa Ushulih.
Al-Markaz al-Handasi lil Abhas al-Tatbiqiyah.
CD. ROM. Mausu’ah
al-Hadits al-Syarif 2.00
(Al-Ishdar al-Tsani). Syirkah al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah.
بسم الله
الرحمن الرحيم
MEMAHAMI
ASSYAHADATAIN
التعريف
بالشهادتي
Muqadimah
Syahadat
merupakan hal yang sangat penting bagi seseorang, yang akan
menentukan perjalanan kehidupannya. Dengan syahadat,
orientasi duniawi
(baca; materiil) akan berubah menjadi orientasi ukhrawi
yang secara langsung atau tidak dapat merubah tujuan dan perjalanan
hidup seseorang. Dan dengan syahadat
ini pulalah, Rasulullah SAW mengubah kondisi masyarakat Arab, dari
kehidupan yang jahili menuju kehidupan yang Islami.
Syahadat
membawa perubahan mendasar dalam jiwa setiap insan. Syahadat
merubah kondisi masyarakat dari akarnya yang paling bawah; yaitu dari
sisi relung hatinya yang paling dalam. Ketika hati telah berubah,
maka segala gerak gerik, tingkah laku, pola pikir, kejiwaan dan
segala tindak tanduk akan berubah pula.
Namun
tentulah untuk dapat mewujudkan perubahan seperti itu, harus terlebih
dahulu memahami hakekat yang terkandung dalam kalimat yang membawa
perubahan itu. Para sahabat, yang mereka semua sebagian besar orang
Arab, sangat memahami makna yang terkandung dalam kalimat tersebut.
Sehingga ketika mereka mengucapkannya, merekapun mengetahui dan
memahami konsekwensi yang bakal mereka terima dari ucapannya. Oleh
karena itulah, tidak sedikit kasus adanya penolakan dari mereka untuk
mengucapkan kalimat tersebut. Bahkan diantara mereka ada yang
mengatakan akan dapat mengatakan sepuluh kalimat, asalkan bukan
kalimat yang satu itu.
Urgensi
Syahadatain
Dari sinilah, kita
dapat memetik urgensi (baca ; ahamiyah)
dari syahadat.
Dan terdapat beberapa urgensi syahadat penting lainnya. Diantaranya
adalah:
1.
(مَدْخَلٌ
إِلَى اْلإِسْلاَمِ)
Syahadat merupakan
pintu gerbang masuk ke dalam Islam.
Karena pada
hakekatnya, syahadat
merupakan pemisah seseorang dari kekafiran menuju Iman. Artinya
dengan sekedar mengucapkan syahadat,
seseorang telah dapat dikatakan sebagai seorang muslim. Demikian pula
sebaliknya, tanpa mengucapkan syahadat,
seseorang belum dapat dikatakan sebagai seorang muslim, kendatipun
baiknya orang tersebut.
Dalam syahadat
seseorang akan mengakui bahwa hanya Allah lah satu-satunya Dzat yang
mengatur segala sesuatu yang ada di jagad raya, termasuk mengatur
segala aspek kehidupan manusia dengan mengutus seorang rasul yang
ditugaskan untuk membimbing umat manusia, yaitu nabi Muhammad SAW.
2.
(خُلاَصَةُ
تَعَالِيْمِ اْلإِسْلاَمِ)
Syahadat
merupakan intisari dari ajaran Islam.
Karena syahadat
mencakup dua hal: Pertama konsep la
ilaha ilallah;
merealisasikan segala bentuk ibadah hanya kepada Allah, baik yang
dilakukan secara pribadi maupun secara bersamaan (berjamaah). Dari
sini akan melahirkan keikhlasan kepada Allah SWT. Kedua, konsep
Muhammad adalah utusan Allah, mengantarkan pada makna bahwa konsep
ini menjadi konsep yang mengharuskan kita untuk mengikuti tatacara
penyembahan kepada Allah sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah
SAW. Atau dengan kata lain sering disebut dengan ittiba’.
3.
(أَسَاسُ
اْلإِنْقِلاَبِ)
Syahadat
merupakan dasar perubahan total, baik pribadi maupun masyarakat.
Karena syahadat
dapat merubah kondisi suatu masyarakat, bangsa dan negara secara
menyeluruh, dengan sentuhan yang sangat dalam yaitu dari dalam tiap
diri insan. Karena jika seseorang dapat berubah, maka ia akan menjadi
perubah yang akan merubah masyarakatnya. Allah berfirman dalam (QS.
13 : 11) :
إِنَّ
اللَّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ
حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya
Allah tidak akan merubah kondisi suatu kaum, hingga mereka mau
merubah diri mereka sendiri.”
4.
(حَقِيْقَةُ
دَعْوَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ)
Syahadat
merupakan hakekat da’wah Rasulullah SAW.
Karena pada hekekatnya
da’wah Rasulullah SAW adalah da’wah untuk menegakkan dua hal;
yaitu mentauhidkan Allah. Dan kedua menggunakan metode Rasulullah SAW
dalam merealisasikan ibadah kepada Allah SWT.
5.
(فَضَائِلٌ
عَظِيْمَةٌ)
Syahadat
memiliki keutamaan yang besar.
Diantaranya
keutamaanya adalah sebagaimana yang digambarkan dalam hadits berikut:
عَنْ
عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّهُ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ شَهِدَ
أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ
مُحَمَّدًا
رَسُولُ
اللَّهِ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ
النَّارَ
“Dari
Ubadah bin al-Shamit, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang
siapa yang bersaksi tiada tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad
adalah utusan Allah, maka Allah akan mengharamkam neraka baginya”.
(HR. Muslim)
Arti
Kata Syahadat
Ditinjau dari segi
bahasa, sedikitnya terdapat tiga arti dari kata syahadat,
ketiga makna tersebut adalah :
1.
(الإعلان/
الإقرار)
Pernyataan
Mengenai makna ini,
Allah menggambarkan dalam Al-Qur’an (QS. 3 : 18) :
شَهِدَ
اللَّهُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ
وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ
قَائِمًا بِالْقِسْطِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah
menyatakan
bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang
menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Seseorang yang
bersyahadat,
berarti ia telah menyatakan sesuatu, sesuai dengan apa yang
dinyatakannya. Dalam hal ini seseorang menyatakan bahwa tiada tuhan
selain Allah dan bahwanya Muhammad adalah utusan Allah.
2.
(القسم
/ الحلف)
Sumpah
Allah berfirfirman
(QS. 24 : 6):
وَالَّذِينَ
يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ
لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلاَّ أَنْفُسُهُمْ
فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ
شَهَادَاتٍ
بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ
“Dan
orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak
ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian
orang itu ialah empat
kali bersumpah
dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang
benar.”
Seseorang yang
bersyahadat,
maka ia sesungguhnya telah menyatakan diri dengan bersumpah, bahwa
tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
3.
(العهد
/ الوعد)
Perjanjian
Allah berfirman (QS. 2
: 84) :
وَإِذْ
أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ
لاَ تَسْفِكُونَ دِمَاءَكُمْ وَلاَ
تُخْرِجُونَ أَنْفُسَكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ
ثُمَّ أَقْرَرْتُمْ وَأَنْتُمْ
تَشْهَدُونَ
“Dan
(ingatlah), ketika Kami mengambil
janji dari kamu
(yaitu): kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan
kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung
halamanmu, kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu
mempersaksikannya.”
Seorang yang
bersyahadat,
sesungguhnya ia telah berjanji kepada Allah SWT untuk mentauhidkannya
(tiada tuhan selain Allah), demikian juga berjanji untuk menjadikan
nabi Muhammad adalah benar-benar utusan Allah, yang harus ia ikuti.
Syarat
Diterimanya Syahadat
Melihat
makna syahadat
di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa ternyata syahadat
bukanlah merupakan hal sepele yang ringan diucapkan oleh lisan. Namun
syahadat memiliki konsekwensi yang demikian besarnya di hadapan Allah
SWT. Oleh karena itulah, kita melihat para sahabat Rasulullah SAW
yang langsung memiliki perubahan yang besar dalam diri mereka,
setelah mengucapkan kalimat tersebut.
Berkenaan dengan hal
ini, kita perlu melihat sejauh mana batasan-batasan yang dapat
menjadikan syahadat
kita dapat diterima oleh Allah SWT. Para ulama memberikan beberapa
batasan, agar syahadat seseorang dapat diterima. Diantaranya adalah:
1.
(العلم
المنافي للجهل)
Didasari dengan ilmu.
Yaitu (pengetahuan)
tentang makna yang dikandung dalam syahadat, dengan pengetahuan yang
menghilangkan rasa ketidaktahuan tentang syahadat yang akan
diucapkannya itu. Allah berfirman (QS. 47 : 19) :
فَاعْلَمْ
أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ
وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ
مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
“Maka
ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan
Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang
mu'min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu
berusaha dan tempat tinggalmu.”
2.
(اليقين
المنافي للشك)
Didasari dengan keyakinan
Artinya seseorang
ketika mengucapkan syahadat, tidak hanya sekedar didasari rasa tahu
bahwa tiada tuhan selain Allah, namun rasa ‘tahu’ tersebut harus
menjadi sebuah keyakinan dalam dirinya bahwa memang benar-benar hanya
Allah Rab semesta alam. Allah berfirman (QS. 49 : 15):
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا
بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ
يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ
وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka
berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah
orang-orang yang benar.”
3.
(الإخلاص
المنافي للشرك)
Didasari dengan keikhlasan
Keyakinan mengenai
keesaan Allah itupun harus dilandasi dengan keikhlasan dalam hatinya
bahwa hanya Allah lah yang ia jadikan sebagai Rab, tiada sekutu,
tiada sesuatu apapun yang dapat menyamainya dalam hatinya. Keiklasana
seperti ini akan menghilangkan rasa syirik kepada sesuatu apapun
juga. Allah berfirman (QS. 98 : 5):
وَمَا
أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ
مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا
الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang
demikian itulah agama yang lurus.”
4.
(الصدق
المنافي للكذب)
Didasari dengan kejujuran
Persaksian itu juga
harus dilandasi dengan kejujuran, artinya apa yang diucapkannya oleh
lisannya itu sesuai dengan apa yang terdapat dalam hatinya. Karena
jika lisannya mengucapkan syahadat, kemudian hatinya meyakini sesuatu
yang lain atau bertentangan dengan syahadat itu, maka ini merupakan
sifat munafik. Allah berfirman (QS. 2 : 8 – 9):
وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَقُولُ ءَامَنَّا بِاللَّهِ
وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُمْ
بِمُؤْمِنِينَ*
يُخَادِعُونَ
اللَّهَ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَمَا
يَخْدَعُونَ إِلاَّ أَنْفُسَهُمْ وَمَا
يَشْعُرُونَ*
“Di
antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah
dan Hari kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukan
orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang
yang beriman, pada hal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang
mereka tidak sadar.”
5.
(المحبة
المنافية للبغض والكراهة)
Didasari dengan rasa cinta/ keridhaan
Maknanya adalah bahwa
seseorang harus memiliki rasa kecintaan kepada Allah SWTdalam
bersyahadat. Karena dengan adanya rasa cinta ini, akan dapat
menghilangkan rasa kebencian kepada Allah dan al-Islam. Allah SWT
berfirman (QS. 2 : 165):
وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ
اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ
كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا
أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى
الَّذِينَ
ظَلَمُوا
إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ
لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ
الْعَذَابِ
“Dan di
antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan
selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.
Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika
seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika
mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan
Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka
menyesal).”
6.
(القبول
المنافي للرد)
Didasari dengan rasa penerimaan
Syahadat yang
diucapkan juga harus diiringi dengan rasa penerimaan terhadap segala
makna yang terkandung di dalamnya, yang sekaligus akan menghilangkan
rasa “ketidak penerimaan” terhadap makna yang dikandung syahadat
tersebut. Allah berfirman (QS. 33 : 36):
وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا
قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ
يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ
أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ
فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا
“Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”
7.
(الإنقياد
المنافي للإمتناع والترك وعدم العمل)
Didasari dengan rasa
kepatuhan (terhadap konsekwensi syahadat).
Terakhir adalah bahwa
syahadat memiliki konsekwensi dalam segala aspek kehidupan seorang
muslim. Oleh karenanya seorang muslim harus patuh terhadap segala
konseksensi yang ada, yang sekaligus menghilangkan rasa
‘ketidakpatuhan’ serta keengganan untuk tidak melaksanakan
perintah dan meninggalkan larangan Allah dan Rasulullah SAW. Allah
berfirman (QS. 24 : 51):
إِنَّمَا
كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا
دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا
سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ
“Sesungguhnya
jawaban orang-orang mu'min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan
rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah
ucapan." "Kami mendengar dan kami patuh." Dan mereka
itulah orang-orang yang beruntung.”
Makna
Syahadatain
1.
Uraian
makna dan fungsi kata La
ilaha ilallah
(لآ إله
إلا الله)
Kata
|
Makna
|
Fungsi
|
La
(لا)
|
Tiada/
Tidak
|
Nafi
(النفي):
Peniadaan
|
Ilaha
(إله)
|
Tuhan
(yang disembah)
|
Manfa
(المنفى):
yang dinafikan/ ditiadakan.
|
Illa
(إلا)
|
Kecuali
|
Adatul
Istisna’ (أداة
الإستثناء):
pengecualian.
|
Allah
(الله)
|
Allah
SWT
|
Al-Mustasna
(المستثناء)
:yang dikecualikan
|
2.
Arti
la
ilaha ilallah
Ilah secara bahasa memiliki arti sesuatu
yang disembah. Dimensi Ilah dalam kehidupan ini dapat mencakup makna
yang luas, diantaranya adalah :
a)
Malik
(المالك)
raja/ pemiliki :
Tiada Pemiliki/ Raja
selain Allah SWT/ Tiada kerajaan selain untuk Allah SWT. Allah SWT
berfirman (QS. 4: 131)
وَلِلَّهِ
مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ
وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ
أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ
وَإِنْ
تَكْفُرُوا فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي
السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَكَانَ
اللَّهُ غَنِيًّا حَمِيدًا
“Dan
kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh
Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum
kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. Tetapi jika
kamu kafir, maka (ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan
apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya lagi
Maha Terpuji.”
b)
Hakim
(الحاكم)
; Pembuat hukum.
Tiada pembuat hukum
selain Allah SWT. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman dalam (QS. 6
: 114) :
أَفَغَيْرَ
اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا وَهُوَ الَّذِي
أَنْزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلاً
وَالَّذِينَ ءَاتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ
يَعْلَمُونَ
أَنَّهُ
مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ فَلاَ
تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
“Maka
patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang
telah menurunkan kitab (Al Qur'an) kepadamu dengan terperinci?
Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka
mengetahui bahwa Al Qur'an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan
sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang
ragu-ragu.”
Dalam ayat lain Allah
mengatakan (QS. 6 : 57)
إِنِ
الْحُكْمُ إِلاَّ لِلَّهِ
“Menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah.”
c)
Amir
(الأمير)
: Pemerintah (yang berhak memberikan perintah)
Tiada pemerintah (yang
berhak memberikan perintah atau larangan) selain Allah SWT. Dalam
Al-Qur’an Allah mengatakan (QS. 7 :54):
أَلاَ
لَهُ الْخَلْقُ وَالأَمْرُ تَبَارَكَ
اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Ingatlah,
menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan
semesta alam.”
d)
Wali
(الولي)
: Pelindung/pemimpin.
Tiada
pelindung/pemimpin selain Allah SWT. Allah berfriman dalam Al-Qur’an
(QS. 2:257)
اللهُ
وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ
مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ
الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ
النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ
أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Allah
Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari
kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang
kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka
dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.”
e)
Mahbub
(المحبوب)
: Yang dicintai.
Tiada yang dicintai
selain Allah SWT Dalam Al-Qur’an Allah SWT mengatakan (QS. 2 :
165):
وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ
اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ
كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا
أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى
الَّذِينَ
ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ
الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ
اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
“Dan di
antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan
selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.
Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika
seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika
mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan
Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka
menyesal).”
f)
Marhub
(المرهوب):
Yang ditakuti.
Tiada yang ditakuti
selain Allah SWT. Allah berfirman (QS. 9 : 18)
إِنَّمَا
يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ
الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ
يَخْشَ إِلاَّ اللَّهَ فَعَسَى
أُولَئِكَ
أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
“Hanyalah
yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah ialah orang-orang yang beriman
kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada
Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan
orang-orang yang mendapat petunjuk.”
g)
Marghub
(المرغوب):
Yang diharapkan
Tiada yang diharapkan
selain Allah SWT. Allah berfirman dalam Al-Qur’an (QS. 94 : 8) :
وَإِلَى
رَبِّكَ فَارْغَبْ
“Dan
hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.”
h)
Haul
wal Quwah (الحول
والقوة)
: Daya dan kekuatan
Tiada daya dan tiada
kekuatan selain Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an (QS.
51 : 58) :
إِنَّ
اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ
الْمَتِينُ
Sesungguhnya
Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat
Kokoh.
i)
Mu’dzam
(المعظم)
:
Tiada yang diagungkan
selain Allah SWT. Dalam Al-Qur’an Allah SWT mengatakan (QS. 22 :
32):
ذَلِكَ
وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ
فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
Demikianlah
(perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi`ar-syi`ar Allah,
maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.
j)
Mustaan
bihi (المستعان
به) :
tempat dimintai pertolongan.
Tiada yang dimintai
pertolongan selain Allah SWT. Allah berfirman dalam Al-Qur’an (QS.
1 : 5) :
إِيَّاكَ
نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Hanya
kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon
pertolongan
Hal-Hal
yang Membatalkan Syahadat
Terdapat
hal-hal yang dapat membatalkan syahadat yang telah kita ikrarkan di
hadapan Allah SWT. Uzt. Said Hawa menyebutkannya ada 20 bentuk.
Berikut adalah beberapa hal yang dapat membatalkan syahadat kita,
yang memiliki konsekwensi kekufuran kepada Allah:
1.
Bertawakal
dan bergantung pada selain Allah.
Allah berfirman (QS. 5
: 23):
وَعَلَى
اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ
مُؤْمِنِينَ
“Dan
hanya kepada Allah lah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu
benar-benar orang yang beriman.”
2.
Bekerja/
beraktivitas dengan tujuan selain Allah.
Karena sebagai seorang
muslim, seyogyanya kita memiliki prinsip: (QS.6:162)
قُلْ
إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ
وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah:
"Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah
untuk Allah, Tuhan semesta alam”
3.
Membuat
hukum/ perundangan selain dari hukum Allah
Allah berfirman (QS. 5
: 57):
إِنِ
الْحُكْمُ إِلاَّ لِلَّهِ يَقُصُّ
الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
“Menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia
Pemberi keputusan yang paling baik.”
4.
Menjalankan
hukum selain hukum Allah
Allah berfirman (QS. 5
: 44)
وَمَنْ
لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Dan
barang siapa yang tidak menughukum dengan apa yang telah ditirunkan
Allah (Al-Qur’an), maka mereka itu adalah orang-orang kafir.”
5.
Lebih
mencintai kehidupan dunia dari pada akhirat.
Allah berfirman (QS.
14 : 2-3):
اللَّهِ
الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا
فِي الأَرْضِ وَوَيْلٌ لِلْكَافِرِينَ
مِنْ عَذَابٍ شَدِيدٍ *
الَّذِينَ
يَسْتَحِبُّونَ
الْحَيَاةَ
الدُّنْيَا عَلَى الآخِرَةِ وَيَصُدُّونَ
عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَيَبْغُونَهَا
عِوَجًا أُولَئِكَ فِي ضَلاَلٍ بَعِيدٍ*
“Allah
yang memiliki segala apa yang di langit dan di bumi. Dan celakalah
bagi orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih. (yaitu)
orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia daripada kehidupan
akhirat, dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan
menginginkan agar jalan Allah itu bengkok. Mereka itu berada dalam
kesesatan yang jauh.”
Dalam ayat lain Allah
berfirman (QS. 9 : 24) :
قُلْ
إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ
وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ
وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ
اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ
كَسَادَهَا
وَمَسَاكِنُ
تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ
اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي
سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ
اللَّهُ بِأَمْرِهِ
وَاللَّهُ
لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah:
"Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum
keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu
khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu
sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan
(dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang fasik.”
6.
Mengimani
sebagaina ajaran Islam dan mengkufuri (baca; tidak mengimani)
sebagian yang lain.
Allah berfirman (QS. 2
: 85):
أَفَتُؤْمِنُونَ
بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ
بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ
ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلاَّ خِزْيٌ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
وَيَوْمَ
الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ
الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ
عَمَّا تَعْمَلُونَ
“Apakah
kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap
sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat
demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan
pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat.
Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.”
7.
Menjadikan
orang kafir sebagai pemimpin.
Allah berfirman (QS.
5: 51):
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا
الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ
بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ
يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ
مِنْهُمْ
إِنَّ
اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi
dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah
pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu
mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang zalim.”
Penutup
Pada
intinya, jika seseorang memahami dan mengetahui dengan baik apa yang
terkandung dalam kalimat syahadat, tentulah mereka akan dapat
memiliki keimanan dan komitmen yang tinggi kepada Allah, yang dapat
mengantarkannya pada derajat ketaqwaan sebagaimana para sahabat
Rasulullah SAW. Barangkali kualitas keimanan kita yang rendah adalah
karena kurangnya pemahaman yang utuh mengenai kalimat ini. Sehingga
meskipun sering diucapkan lisan, namun belum dapat diterjemahkan
dalam kehidupan rill sehari-hari.
Dengan
memahami kembali makna syahadat beserta hal-hal lain yang terkait
dengan dua kalimat ini, semoga dapat menjadikan keimanan dan
keislaman kita lebih baik lagi. Wajar, jika terdapat beberapa hal
yang masih kurang dalam keimanan kita. Karena kita adalah manusia
dengan segala kekurangan yang kita miliki. Oleh karena itulah,
marilah kita memperbaiki hal-hal tersebut dengan yang lebih baik
lagi. Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang
bertaqwa.
Wallahu A’lam Bis
Shawab.
By.
Rikza Maulan, Lc., M.Ag.
Bahan
Bacaan
Azzam, Abdullah.
Al-Aqidah
wa Atsaruha fi Bina’ al-Jail.
1991 – 1411. Cet I. Kairo – Mesir : Dar al-Isra’.
Al-Buraikan, Ibrahim
Muhammad bin Abdullah. Pengantar
Studi Aqidah Islam.
Terj. 1998. Cet. I. Jakarta : Robbani Press & Al-Manar.
Hawwa, Sa’id.
Al-Islam.
(Terj. Oleh Abu Ridha dan AR Shaleh Tamhid) Cet. I – 2000. Jakarta
: Al-I’tisham Cahaya Umat.
Quthb, Muhammad. La
Ilaha Ilallah Sebagai Aqidah, Syari’ah, dan Sistem Kehidupan. 1996.
Cet. I. Terj. Jakarta : Robbani Press.
CD. ROM. Al-Qur’an
6.50 & Al-Hadits.
Syirkah Sakhr li Baramij al-Hasib (1991 – 1997).
CD. ROM. Mausu’ah
Ulama’ al-Islam; Dr. Yusuf al-Qardhawi ; al-Fiqh wa Ushulih.
Al-Markaz al-Handasi lil Abhas al-Tatbiqiyah.
CD. ROM. Mausu’ah
al-Hadits al-Syarif 2.00
(Al-Ishdar al-Tsani). Syirkah al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah.
بسم الله الرحمن
الرحيم
MA’RIFATULLAH
معرفة
الله
Muqadimah
Mengenal Allah
merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan setiap insan.
Karena dengan mengenal Allah, seseorang akan lebih dapat mengenali
dirinya sendiri. Dengan mengenal Allah seseorang juga akan dapat
memahami menegenai hakekat keberadaannya di dunia ini; untuk apa ia
diciptakan, kemana arah dan tujuan hidupnya, serta tanggung jawab
yang dipikulnya sebagai seorang insan di muka bumi. Dengan lebih
mengenal Allah, seseoran juga akan memiliki keyakinan bahwa ternyata
hanya Allah lah yang Maha Pencipta, Maha Penguasa, Maha Pemelihara,
Maha Pengatur dan lain sebagainya. Sehingga seseorang yang mengenal
Allah, seakan-akan ia sedang berjalan pada sebuah jalan yang terang,
jelas dan lurus.
Sebaliknya,
tanpa pengenalan terhadap Allah, manusia akan dilanda kegelisahan
dalam setiap langkah yang dilaluinya. Ia tidak dapat memahami hakekat
kehidupannya, dari mana asalnya, kemana arah tujuannya dan lain
sebagainya. Seakan akan ia sedang berjalan di sebuah jalan yang
gelap, tidak tentu dan berkelok. Dalam Al-Qur’an Allah SWT
menggambarkan (QS. 6 :122) :
أَوَمَنْ
كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا
لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ
كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ
بِخَارِجٍ مِنْهَا
كَذَلِكَ
زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ
“Dan
apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami
berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia
dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan
orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali
tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang
kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.”
Urgensi
Ma’rifatullah
Sebagaimana
disinggung di atas, bahwa orang yang mengenal Allah, ia akan memahami
hakekat kehidupannya. Oleh karenanya ia tidak akan mudah silau dan
tertipu oleh kemilaunya kehidupan dunia. Allah berfirman (QS. 51:56)
mengenai tujuan hidup manusia di dunia:
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنْسَ إِلاَّ
لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku.
Berikut adalah beberpa
poin penting mengenai urgensi (baca; ahamiyah)
ma’rifatullah:
1.
Tidak
akan tertipu oleh kemilaunya kehidupan dunia.
Allah berfirman (QS. 6
: 130):
يَامَعْشَرَ
الْجِنِّ وَالإِنْسِ أَلَمْ يَأْتِكُمْ
رُسُلٌ مِنْكُمْ يَقُصُّونَ عَلَيْكُمْ
آيَاتِي وَيُنْذِرُونَكُمْ لِقَاءَ
يَوْمِكُمْ هَذَا قَالُوا شَهِدْنَا
عَلَى
أَنْفُسِنَا
وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا
وَشَهِدُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَنَّهُمْ
كَانُوا كَافِرِينَ
“Hai
golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul
dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat Ku
dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini?
Mereka berkata: "Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri",
kehidupan dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas
diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir.”
2.
Karena
Allah SWT adalah Rab semesta alam.
Allah berfirman (QS.
13 : 16):
قُلْ
مَنْ رَبُّ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ
قُلِ اللَّهُ قُلْ أَفَاتَّخَذْتُمْ
مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ لاَ يَمْلِكُونَ
لأَفُسِهِمْ نَفْعًا وَلاَ ضَرًّا
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الأَعْمَى وَالْبَصِيرُ
أَمْ هَلْ تَسْتَوِي الظُّلُمَاتُ
وَالنُّورُ أَمْ جَعَلُوا لِلَّهِ
شُرَكَاءَ خَلَقُوا كَخَلْقِهِ فَتَشَابَهَ
الْخَلْقُ عَلَيْهِمْ قُلِ اللَّهُ
خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ الْوَاحِدُ
الْقَهَّارُ
“Katakanlah:
"Siapakah Tuhan langit dan bumi?" Jawabnya: "Allah."
Katakanlah: "Maka patutkah kamu mengambil pelindung-pelindungmu
dari selain Allah, padahal mereka tidak menguasai kemanfaatan dan
tidak (pula) kemudharatan bagi diri mereka sendiri?".
Katakanlah: "Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau
samakah gelap gulita dan terang benderang; apakah mereka menjadikan
beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya
sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?"
Katakanlah: "Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah
Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa".
3.
Karena
wujud (eksistensi) dan keberadaan Allah SWT didukung oleh
dalil-dalil yang kuat:
a)
Dalil
Naqli
(tekstual)
Allah berfirman (QS. 6
: 19):
قُلْ
أَيُّ شَيْءٍ أَكْبَرُ شَهَادَةً قُلِ
اللَّهُ شَهِيدٌ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ
وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْآنُ
لأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ
أَئِنَّكُمْ لَتَشْهَدُونَ أَنَّ
مَعَ اللَّهِ آلِهَةً أُخْرَى قُلْ لاَ
أَشْهَدُ قُلْ إِنَّمَا هُوَ إِلَهٌ
وَاحِدٌ وَإِنَّنِي بَرِيءٌ مِمَّا
تُشْرِكُونَ
“Katakanlah:
"Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah:
"Allah. Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al Qur'an ini
diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu
dan kepada orang-orang yang sampai Al Qur'an (kepadanya). Apakah
sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan yang lain di samping
Allah?" Katakanlah: "Aku tidak mengakui". Katakanlah:
"Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan sesungguhnya
aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)".
b)
Dalil
Akal
Allah berfirman (QS. 3
: 190):
إِنَّ
فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالأََرْضِ
وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ
لأَيَاتٍ لأُولِي الألَبْاَبِ
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”
c)
Dalil
Fitrah
Allah berfirman (QS. 7
: 172):
وَإِذْ
أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ
ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ
عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ
قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا
يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ
هَذَا غَافِلِينَ
“Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka
menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi".
(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang
yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",
4.
Memiliki
manfaat atau faidah yang banyak:
Dengan mengenal Allah
secara baik dan benar, maka secara langsung atau tidak langsung akan
lebih mendekatkan diri kita kepada Allah SWT. Dan jika kita dekat
dengan Allah, maka Allah pun akan dekat pula dengan kita. Hal ini
merupakan hal yang paling pokok bagi seorang hamba. Karena bagi
dirinya orientasinya hanya lah Allah dan Allah. Tiada kebahagiaan
hakiki baginya, selain cinta Ilahi. Namun di samping itu terdapat
hal-hal positif lainnya dengan adanya ma’rifatullah
ini, diantaranya adalah:
a)
Kebebasan
(الحرية)
Allah berfirman (QS. 6
: 82)
الَّذِينَ
آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ
بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ
وَهُمْ مُهْتَدُونَ
Orang-orang
yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman
(syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka
itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
b)
Ketenangan
(الطمأنينة)
Allah berfirman (QS.
13 : 28)
الَّذِينَ
آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ
بِذِكْرِ اللَّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللَّهِ
تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati
menjadi tenteram.”
c)
Barakah
(البركة)
Allah berfirman (QS. 7
: 96):
وَلَوْ
أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا
لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ
السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا
فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi
mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya.”
d)
Kehidupan
yang baik (الحياة
الطيبة)
Allah berfirman (QS.
16 : 97)
مَنْ
عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى
وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ
حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ
أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa
yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.”
e)
Syurga
(الجنة)
Allah berfirman (QS.
10 : 25-26)
لِلَّذِينَ
أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ
وَلاَ يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلاَ
ذِلَّةٌ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ
هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Bagi
orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan
tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak
(pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di
dalamnya.”
f)
Mardhatillah.
(مرضاة
الله)
Allah berfirman (QS.
98 : 8)
جَزَاؤُهُمْ
عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي
مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ
فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ
رَبَّهُ
“Balasan
mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga `Adn yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang
demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.”
Cara Untuk Mengenal
Allah
Untuk
menuju tujuan tertentu, tentulah diperlukan cara atau metode yang
telah tertentu pula. Metode yang baik dan benar akan dapat
mengantarkan kita pada hasil yang baik dan benar pula. Demikian juga
sebaliknya, cara atau metode yang salah, akan membawa kita pada hasil
yang salah pula. Dan secara garis besar, terdapat dua cara untuk
mengenal Allah SWT. Pertama, melalui ayat-ayat Allah yang bersifat
qauliyah.
Kedua, melalui ayat-ayat Allah yang bersifat kauniyah.
Pertama : Melalui
ayat-ayat qauliyah.
Ayat-ayat qauliyah
adalah ayat-ayat Allah SWT yang difirmankan-Nya dalam kitab suci
Al-Qur’an. Ayat-ayat ini menyentuh berbagai aspek yang dapat
menunjukkan kita untuk lebih mengenal dan meyakini Allah SWT.
Sebagai contoh, Allah SWT berfirman dalam (QS. 88: 17 – 20), dimana
Allah SWT memberikan pertanyaan-pertanyaan yang sangat menghujam
lubuk hati seorang insan yang paling dalam, untuk membenarkan
keberadaan Allah Yang Maha Pencipta:
أَفَلاَ
يَنْظُرُونَ إِلَى اْلإبِلِ كَيْفَ
خُلِقَتْ *
وَإِلَى
السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ*
وَإِلَى
الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ *
وَإِلَى
الأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ*
“Maka
apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan
langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia
ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?”
Contoh lain adalah
bagaimana Allah SWT memberikan pertanyaan-pertanyaan yang
sesungguhnya tiada jawaban yang dapat mereka berikan melainkan hanya
kesaksian mengenai Keagungan, Kebesaran dan Kekuasaan Allah SWT.
Allah berfirman (QS. 27 : 60 – 66)
أَمَّنْ
خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ وَأَنْزَلَ
لَكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَنْبَتْنَا
بِهِ حَدَائِقَ ذَاتَ بَهْجَةٍ مَا كَانَ
لَكُمْ أَنْ تُنْبِتُوا شَجَرَهَا
أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ بَلْ هُمْ قَوْمٌ
يَعْدِلُونَ *
أَمَّنْ
جَعَلَ الأَرْضَ قَرَارًا وَجَعَلَ
خِلالَهَا أَنْهَارًا وَجَعَلَ لَهَا
رَوَاسِيَ وَجَعَلَ بَيْنَ الْبَحْرَيْنِ
حَاجِزًا أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ بَلْ
أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ *أَمَّنْ
يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ
وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ
خُلَفَاءَ الأَرْضِ أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ
قَلِيلاً مَا تَذَكَّرُونَ *
أَمَّنْ
يَهْدِيكُمْ فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ
وَالْبَحْرِ وَمَنْ يُرْسِلُ الرِّيَاحَ
بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ
أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ تَعَالَى اللَّهُ
عَمَّا يُشْرِكُونَ*
أَمَّنْ
يَبْدَأُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ
وَمَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ
وَالأَرْضِ أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قُلْ
هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
صَادِقِينَ *
قُلْ
لاَ يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ
وَالأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللَّهُ
وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
*
بَلِ
ادَّارَكَ عِلْمُهُمْ فِي اْلآخِرَةِ
بَلْ هُمْ فِي شَكٍّ مِنْهَا بَلْ هُمْ
مِنْهَا عَمُونَ*
“Atau
siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan
air untukmu dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu
kebun-kebun yang berpemandangan indah, yang kamu sekali-kali tidak
mampu menumbuhkan pohon-pohonnya? Apakah di samping Allah ada tuhan
(yang lain)? Bahkan (sebenarnya) mereka adalah orang-orang yang
menyimpang (dari kebenaran). Atau siapakah yang telah menjadikan bumi
sebagai tempat berdiam, dan yang menjadikan sungai-sungai di
celah-celahnya, dan yang menjadikan gunung-gunung untuk
(mengkokohkan) nya dan menjadikan suatu pemisah antara dua laut?
Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya)
kebanyakan dari mereka tidak mengetahui. Atau siapakah yang
memperkenankan (do`a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo`a
kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu
(manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan
(yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya). Atau siapakah
yang memimpin kamu dalam kegelapan di daratan dan lautan dan siapa
(pula) kah yang mendatangkan angin sebagai kabar gembira sebelum
(kedatangan) rahmat-Nya? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang
lain)? Maha Tinggi Allah terhadap apa yang mereka persekutukan
(dengan-Nya). Atau siapakah yang menciptakan (manusia dari
permulaannya), kemudian mengulanginya (lagi), dan siapa (pula) yang
memberikan rezki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping
Allah ada tuhan (yang lain)?. Katakanlah: "Unjukkanlah bukti
kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar".
Katakanlah: "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang
mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak
mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. Sebenarnya pengetahuan
mereka tentang akhirat tidak sampai (kesana) malahan mereka ragu-ragu
tentang akhirat itu, lebih-lebih lagi mereka buta daripadanya.”
Selain dua contoh di
atas, masih banyak sekali contoh-contoh lain yang dapat mengantarkan
kita untuk dapat mengenal dan lebih mengenal Allah SWT lagi.
Kedua : Melalui
ayat-ayat kauniyah
Ayat-ayat kauniyah
adalah tanda-tanda kebesaran Allah yang terdapat pada ciptaan-Nya,
baik yang berada di dalam diri manusia, di alam, di angkasa, di dalam
lautan, di jagad raya dan lain sebagainya. Karena pada hekekatnya,
ketika manusia merenungkan segala ciptaan Allah yang Maha Sempurna
ini, akan membawa pada pengenalan dan pengesaan (baca; pentauhidan)
terhadap Allah SWT. Allah berfirman dalam QS. 67 : 3 – 4:
الَّذِي
خَلَقَ سَبْعَ سَمَوَاتٍ طِبَاقًا مَا
تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِنْ
تَفَاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ
تَرَى مِنْ فُطُورٍ*
ثُمَّ
ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنْقَلِبْ
إِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًا وَهُوَ
حَسِيرٌ
“Yang
telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak
melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak
seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu
yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya
penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu
cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah.”
Bahkan dalam ayat
lain, Allah seolah memberikan tantangan kepada orang yang tidak
mengakui ciptaan-Nya, untuk menunjukkan ciptaan-ciptaan selain-Nya.
Allah mengatakan (QS. 31 : 11)
هَذَا
خَلْقُ اللَّهِ فَأَرُونِي مَاذَا خَلَقَ
الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ بَلِ الظَّالِمُونَ
فِي ضَلاَلٍ مُبِينٍ
“Inilah
ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah
diciptakan oleh sembahan-sembahan (mu) selain Allah. Sebenarnya
orang-orang yang zalim itu berada di dalam kesesatan yang nyata.”
Pada intinya adalah
bahwa sesungguhnya segala apa yang ada di bumi, di langit, di jagad
raya, juga di dalam diri kita sendiri, merupakan tanda-tanda
kebesaran Allah SWT. Tanda-tanda tersebut demikian banyaknya hingga
dapat dikatakan tak terbilang. Hanya karena keterbatasan kitalah,
kita tidak mampu untuk menghitung ayat-ayat Allah tersebut. Berikut
adalah diantara ayat-ayat kauniyah
yang dapat mengenalkan kepada Allah SWT:
1.
Fenomena
adanya alam.
Jika terdapat sesuatu
yang sangat indah dan mempesona, maka pastilah ada yang membuatnya.
Sebagai contoh, ketika kita melihat ada sebuah rumah yang sangat
bagus dan indah. Tentulah rumah tersebut ada yang membangunnya.
Karena tidak mungkin, rumah itu ada dan berdiri sendiri dengan
kebetulan, tanpa ada yang menciptakannya. Demikian juga dengan alam
yang sangat indah ini, dengan berbagai siklus alamnya yang demikian
sempurna. Ada sinar matahari yang tidak membakar kulit, ada oksigen
yang kadar dan komposisinya sangat sesuai dengan manusia, ada air
yang merupakan sumber kehidupan, ada pepohonan, ada hewan, ada
bakteri dan demikian seterusnya. Sesungguhnya hal seperti itu
merupakan tanda-tanda yang jelas mengenai Allah SWT. Bila ciptaan-Nya
saja begitu indah dan sempurna, maka apatah lagi dengan Penciptanya.?
Mengenai hal ini, Allah berfirman (QS. 3 : 190):
إِنَّ
فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ
وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ
لآيَاتٍ لأُولِي الأَلْبَابِ
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”
Kita dapat
membayangkan, sekiranya dunia ini tidak diselimuti oleh atmosfer,
atau tiada pepohonan yang mengeluarkan oksigen, atau tiada penawar
kotoran seperti lautan, atau hal-hal lain yang menyeimbangkan siklus
perputaran kehidupan di dunia? Barangkali kita semua saat ini sudah
punah. Belum lagi jika kita menengok ke angkasa raya, di mana seluruh
planet berserta gugusan bintang-bintang, semua berjalan sesuai dengan
‘jalurnya’ masing-masing. Sehingga tiada yang saling bertabrakan
satu dengan yang lainnya. Lagi-lagi sebuah pertanyaan muncul,
siapakan yang dapat mengatur segalanya dengan sangat teliti, sempurna
dan tiada cacat? (Biarkanlah relung hati kita yang paling dalam untuk
menjawabnya sendiri..)
2.
Fenomena
kehidupan dan kematian
Kehidupan dan kematian
juga merupakan salah satu tanda kebesaran Allah SWT. Di mana hal ini
‘memaksa’ manusia untuk berfikir keras tentang fenomena hidup dan
mati. Jika seluruh makhluk itu hidup dan kemudian mati, tentulah di
sana terdapat Dzat yang Menghidupkan dan Mematikan. Jika seseorang,
Allah kehendaki untuk mati, maka apapun yang dilakukan untuk
menolongnya akan menjadi sia-sia. Demikian juga dengan fenomena
kehidupan; terkadang seseorang yang telah terfonis ‘mati’ oleh
medis, ternyata dapat dan mampu bertahan hidup hingga beberapa tahun
ke depan. Dan menyikapi hal seperti ini, manusia terpaksa harus
mengakui ‘kekerdilannya’, meskipun tekhnologi canggih telah
mereka kuasai. Namun mereka sama sekali tidak kuasa menghadapi
fenomena ini. Mereka akhirnya harus mengembalikan segala sesuatunya
hanya kepada Allah. Karena pada-Nyalah kita semua akan kembali.
Mengenai hal ini Allah berfirman (QS. 2 : 28)
كَيْفَ
تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ
أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ
يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ
إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Mengapa
kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah
menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya
kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?”
Penghalang Dalam
Mengenal Allah
Meskipun demikian,
manusia tetaplah manusia dengan segala sifat baik dan buruk yang
terdapat dalam dirinya. Bagi mereka yang dapat memenejemen dirinya
mengikuti sifat baiknya, maka hal ini tidak akan menjadi masalah.
Namun manakala mereka mengikuti sifat buruk dalam dirinya, tentulah
hal ini dapat menjadi penghalang dalam menempuh jalan menuju
pengenalan terhadap Allah SWT. Secara garis besar terdapat beberpa
hal (yang harus kita hindari) yang menghalangi manusia untuk mengenal
Allah, diantaranya adalah:
1.
Kefasikan
(الفسق)
Fasik adalah orang
yang senantiasa melanggar perintah dan larangan Allah, bergelimang
dengan kemaksiatan serta senantiasa berbuat kerusakan di bumi. Sifat
seperti ini akan menghalangi seseorang untuk mengenal Allah SWT.
Allah menggambarkan mengenai sikap fasik ini dalam (QS. 2 : 26 –
27):
إِنَّ
اللَّهَ لاَ يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ
مَثَلاً مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا
فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَيَعْلَمُونَ
أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَأَمَّا
الَّذِينَ كَفَرُوا فَيَقُولُونَ مَاذَا
أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلاً
يُضِلُّ بِهِ كَثِيرًا وَيَهْدِي بِهِ
كَثِيرًا وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلاَّ
الْفَاسِقِينَ*
الَّذِينَ
يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ
مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ
اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ
فِي الأَرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ*
“Sesungguhnya
Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih
rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin
bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang
kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk
perumpamaan?" Dengan perumpamaan itu banyak orang yang
disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang
diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali
orang-orang yang fasik. (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian
Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang
diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan
membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.”
2.
Kesombongan
(الكبر)
Kesombongan merupakan
suatu sikap dimana hati seseorang ingkar dan membantah terhadap
ayat-ayat Allah, dan mereka tidak beriman kepada Allah SWT. Allah
berfirman (QS. 16 : 22):
إِلَهُكُمْ
إِلَهٌ وَاحِدٌ فَالَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ
بِالآخِرَةِ قُلُوبُهُمْ مُنْكِرَةٌ
وَهُمْ مُسْتَكْبِرُونَ
“Tuhan
kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka orang-orang yang tidak beriman
kepada akhirat, hati mereka mengingkari (keesaan Allah), sedangkan
mereka sendiri adalah orang-orang yang sombong.”
3.
Kedzaliman
(الظلم)
Sifat kedzaliman
merupakan sifat seseorang yang menganiaya, baik terhadap dirinya
sendiri, terhadap orang lain, ataupun terhadap ayat-ayat Allah SWT.
Mengenai sifat ini, Allah berfirman dalam (QS. 32 : 22):
وَمَنْ
أَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِآيَاتِ
رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا إِنَّا
مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنْتَقِمُونَ
“Dan
siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan
dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya?
Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang
berdosa.”
4.
Kedustaan
(الكذب)
Kedustaan merupakan
sikap bohong dan pengingaran. Dalam hal ini adalah membohongi dan
mengingkari ayat-ayat Allah SWT. Allah berfirman QS. 2 : 10
فِي
قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ
مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا
كَانُوا يَكْذِبُونَ
“Dalam
hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi
mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.”
5.
Banyak
melakukan perbuatan maksiat (dosa) (كثرة
المعاصي)
Allah berfirman (QS.
83 : 14):
كَلاَّ
بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا
يَكْسِبُونَ
“Sekali-kali
tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu
menutup hati mereka.”
6.
Kejahilan/
kebodohan (الجهل)
Allah berfirman (QS.
29 : 63) :
وَلَئِنْ
سَأَلْتَهُمْ مَنْ نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ
مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الأَرْضَ مِنْ
بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ
لاَ يَعْقِلُونَ
“Dan
sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: "Siapakah yang
menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi
sesudah matinya?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah".
Katakanlah: "Segala puji bagi Allah", tetapi kebanyakan
mereka tidak memahami (nya).”
7.
Keragu-raguan
(الإرتياب)
Allah berfirman dalam
(QS. 22 : 55) :
وَلاَ
يَزَالُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي مِرْيَةٍ
مِنْهُ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ السَّاعَةُ
بَغْتَةً أَوْ يَأْتِيَهُمْ عَذَابُ
يَوْمٍ عَقِيمٍ
“Dan
senantiasalah orang-orang kafir itu berada dalam keragu-raguan
terhadap Al Qur'an, hingga datang kepada mereka saat (kematiannya)
dengan tiba-tiba atau datang kepada mereka azab hari kiamat. Dan
senantiasalah orang-orang kafir itu berada dalam keragu-raguan
terhadap Al Qur'an, hingga datang kepada mereka saat (kematiannya)
dengan tiba-tiba atau datang kepada mereka azab hari kiamat.”
8.
Penyimpangan
(الإنحراف)
Allah berfirman (QS. 5
: 13):
فَبِمَا
نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ
وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً
يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ
وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ
وَلاَ تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَى خَائِنَةٍ
مِنْهُمْ إِلاَّ قَلِيلاً مِنْهُمْ
فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“(Tetapi)
karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan
hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari
tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa
yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad)
senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di
antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan
biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik.”
9.
Kelalaian
(الغفلة)
Allah berfirman dalam
(QS. 7 : 179):
وَلَقَدْ
ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ
الْجِنِّ وَالإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَ
يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ
لاَ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ
آذَانٌ
لاَ
يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَاْلأَنْعَامِ
بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ
الْغَافِلُونَ
“Dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari
jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya
untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi)
tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah),
dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak,
bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang
lalai.”
Tauhidullah
Tauhidullah
berarti mengesakan Allah SWT, dari segala apapun yang ada di dunia
ini. Dan secara garis besar, tauhid dibagi menjadi tiga bagian;
pertama Tauhid Rububiyah. Kedua; Tauhid Mulkiyah, dan Ketiga; Tauhid
Uluhiyah.
1.
Tauhid
Rububiyah.
Dari segi bahasa,
Rububiyah berasal dari kata rabba
yarubbu
(ربّ -
يربّ)
yang memiliki beberapa arti, yaitu : ( المربي
/al-Murabbi)
Pemelihara, ( النصير/al-Nashir)
Penolong, ( الملك
/al-Malik)
Pemilik, ( المصلح
/
al-Muslih) Yang Memperbaiki, ( السيد
/al-Sayid)
Tuan dan ( الولي
/
al-Wali) Wali.
Sifat rububiyah bagi
Allah merupakan sifat Allah sebagai Maha Pencipta, Maha Pemilik, dan
Maha Pengatur seluruh alam. Dalam tauhid ini, kita diminta untuk
mengesakan Allah sebagai Pencipta yang telan mencipta segala sesuatu
dari yang paling kecil hingga yang paling besar. Hanya Allah-lah yang
memberikan rizki dan hanya Allah lah sebagai Penguasa yang menguasai
seluruh alam ini.
Menurut fungsinya,
tauhid rububiyah pada Dzat Allah terbagi menjadi tiga:
a)
Allah
sebagai Pencipta (خالقا)
Allah SWT berfirman
(QS. 2 : 21-22):
يَاأَيُّهَا
النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي
خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ *
الَّذِي
جَعَلَ لَكُمُ الأَرْضَ فِرَاشًا
وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ
السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ
الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلاَ
تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ
تَعْلَمُونَ*
“Hai
manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang
yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah Yang menjadikan bumi
sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan
air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu
segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu
mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”
b)
Allah
sebagai Pemberi rizki (رازقا)
Allah berfirman (QS.
51 : 57-58):
مَا
أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا
أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ*
إِنَّ
اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ
الْمَتِينُ*
“Aku
tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak
menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah
Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.”
c)
Allah
sebagai Pemilik (مالكا)
Allah berfirman (QS.
284) :
لِلَّهِ
مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ
وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ
أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ
اللَّهُ فَيَغْفِرُ لِمَنْ
يَشَاءُ
وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Kepunyaan
Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan
jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu
menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu
tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang
dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Tauhid rububiyah ini
merupakan landasan bagi seluruh kaum muslimin untuk bersyukur kepada
Allah SWT. Karena pada hakekatnya dalam menempuh kehidupan dunia,
mereka senantiasa bertemu dengan ciptaan Allah, dengan pemberian
rizki dari Allah dan juga menggunakan segala ‘fasilitas’ miliki
Allah SWT. Mereka tidak mungkin lari dari kenyataan ini.
2.
Tauhid
Mulkiyah.
Dari segi bahasa,
mulkiyah berasal dari kata malika
yamliku
(ملك -
يملك),
yang artinya memiliki dan berkuasa penuh atas yang dimiliki.
Sedangkan dari segi istilahnya adalah mengesakan Allah SWT sebagai
satu-satunya penguasa, pemimpin, satu-satunya pembuat hukum (aturan)
dan pemerintah. Tauhid mulkiyah pada Allah meliputi
a)
Allah
sebagai pemimpin (وليا)
Allah berfirman (QS. 7
: 196):
إِنَّ
وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ
الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ
“Sesungguhnya
pelindungku ialah Allah yang telah menurunkan Al Kitab (Al Qur'an)
dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.”
Dalam ayat lain Allah
menggambarkan (QS. 18 : 50)
وَإِذْ
قُلْنَا لِلْمَلآئِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ
فَسَجَدُوا إِلاّ إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ
الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ
أَفَتَتَّخِذُونَهُ
وَذُرِّيَّتَهُ
أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ
عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلاً
“Dan
(ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah
kamu kepada Adam", maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia
adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya.
Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin
selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis
itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim.”
b)
Allah
sebagai pembuat hukum/ undang-undang (حاكما)
Allah berfirman (QS. 6
: 57):
إِنِ
الْحُكْمُ إِلاَّ لِلَّهِ
“Menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah. “
c)
Allah
sebagai pemerintah/ yang berhak memerintah (آمرا)
Allah berfirman (QS. 7
: 54)
بِأَمْرِهِ
أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَالأَمْرُ تَبَارَكَ
اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Ingatlah,
menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan
semesta alam.”
3.
Tauhid
Uluhiyah.
Uluhiyah berasal dari
kata Aliha
ya’lihu,
(أله -
يأله)
artinya menyembah. Sedangkan dari segi istilah adalah mengesakan
Allah SWT dalam penyembahan/ peribadahan. Tauhid uluhiyah pada Allah
ini mencakup tiga hal:
a)
Allah
sebagai tujuan (غاية)
Allah berfirman (QS. 6
: 162):
قُلْ
إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ
وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah:
"Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah
untuk Allah, Tuhan semesta alam.”
b)
Allah
sebagai Dzat yang kita mengabdikan diri pada-Nya (معبودا)
Allah berfirman (QS.
109: 1-6)
قُلْ
يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ*
لاَ
أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ*
وَلاَ
أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ *
وَلاَ
أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ*
وَلاَ
أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ*
لَكُمْ
دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ*
“Katakanlah:
"Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang
kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku
tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak
pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah
agamamu, dan untukkulah, agamaku".
Dengan mentauhidkan
Allah melalui tiga bentuknya ini, insya Allah akan membawa kita untuk
menjadikan Allah sebagai:
1.
(ربا
مقصودا)
Rab yang menjadi
tujuan segala amalan dan aktivitas kita, baik yang bersifat ibadah
ataupun muamalah, bersifat individu maupun secara bersama-sama.
Karena tiada tujuan lain dalam hidup kita selain hanya Allah dan
Allah.
2.
(ملكا
مطاعا)
Penguasa yang
senantiasa kita taati segala undang-undang dan aturan hukum yang
Allah berikan kepada kita, baik yang terdapat dalam Al-Qur’an
maupun yang terdapat dalam sunnah Rasulullah SAW.
3.
(إلها
معبودا)
Tuhan yang senantiasa
kita sembah, di mana tiada sesembahan lain dalam hati kita, dalam
fikiran kita dan dalam jasad kita selain hanya untuk pengabdian
kepada Allah SWT.
Penutup
Dengan
mengenal Allah SWT, kita akan lebih dapat untuk mendekatkan diri kita
kepada-Nya secara baik dan benar. Karena pemahaman yang baik akan
mengantarkan pada amalan yang baik. Amalan yang baik akan mengarah
pada hasil yang baik. Dan hasil yang baik, insya Allah akan
mendapatkan keridhaan Allah SWT. Semoga Allah SWT menjadikan kita
semua sebagai hamba-hamba-Nya yang benar-benar mentauhidkannya dalam
segenap aspek kehidupan kita. Dan kita berlindung kepada-Nya dari
kemusyrikan-kemusyrikan, baik yang kita sadari ataupun yang tidak
kita sadari…
اللهم
إنا نعوذ بك من أن نشرك بك شيئا نعلمه
ونستغفرك لما لا نعلمه
Wallahu
A’lam Bis Shawab.
By.
Rikza Maulan, Lc. M.Ag.
Bahan Bacaan
Azzam, Abdullah.
Al-Aqidah
wa Atsaruha fi Bina’ al-Jail.
1991 – 1411. Cet I. Kairo – Mesir : Dar al-Isra’.
Al-Buraikan, Ibrahim
Muhammad bin Abdullah. Pengantar
Studi Aqidah Islam.
Terj. 1998. Cet. I. Jakarta : Robbani Press & Al-Manar.
Al-Munawir, Ahmad
Warson. Al-Munawir : Kamus
Arab – Indonesia.
Tanpa tahun. Yogyakarta : Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan
Pondok Pesantren Al-Munawir.
Al-Qardhawi, Yusuf.
Wujudullah
(Silsilah Aqa’id al-Islam I).
1990 – 1410. Cet. III. Kairo – Mesir : Maktabah Wahbah.
Kelompok Studi Islam
Al-Ummah Jakarta. Aqidah Seorang Muslim. 1994. Jakarta : Nidzam
Press.
CD. ROM. Al-Qur’an
6.50 & Al-Hadits.
Syirkah Sakhr li Baramij al-Hasib (1991 – 1997).
CD. ROM. Mausu’ah
al-Hadits al-Syarif 2.00
(Al-Ishdar al-Tsani). Syirkah al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah.
بسم الله الرحمن
الرحيم
MA’RIFATUR RASUL
معرفة
الرسول
Muqadimah
Dalam
setiap kehidupannya, fitrah seorang insan akan senantiasa mengakui
keberadaan suatu Dzat yang Maha segala-galanya. Namun dalam
perjalanannya, untuk memahami secara benar mengenai Dzat yang Maha
segala-galanya ini manusia tidak mungkin dapat mengetahuinya hanya
dengan mengandalkan fitrah dan akalnya saja. Manusia ‘memerlukan’
seorang penuntun yang mengantarkan dirinya pada Allah, beserta cara
untuk menyembah-Nya dengan baik dan benar.
Di
sinilah, Allah SWT mengutus para rasul, guna membimbing mereka ke
jalan yang benar. Rasul yang juga meluruskan berbagai fenomena
‘kekeliruan’ dalam menyembah Allah. Di tambah lagi dengan adanya
kelicikan syaitan yang senantiasa menjerumuskan insan dalam berbagai
bentuk kemusyrikan. Tanpa seorang rasul, maka dapat dipastikan
seluruh manusia akan tersesat dalam lembah kehinaan yang sangat
mencekam.
Oleh
karena itulah, sangat urgen bagi kita semua untuk kembali memahami
hakekat para rasul, kedudukannya, urgensitasnya, sifat-sifatnya,
tugas-tugasnya dan yang terakahir mengenai karakteristik risalah
Nabi Muhammad SAW. Karena semua rasul adalah manusia. Semua rasul,
mengajak pada satu ajaran yaitu mengesakan Allah dengan
merealisasikan ibadah hanya kepada-Nya.
Ta’rif Rasul.
Dari
segi bahasa, rasul berasal dari kata ‘rasala’
yang berarti mengutus. Sedangkar rasul, adalah bentuk infinitif
(baca; masdar)
dari kata ‘rasala’
ini berarti utusan, atau seseorang yang diutus. Adapun dari segi
istilahnya rasul adalah:
الرَّجُلُ
الْمُصْطَفَي الْمُرْسَلُ مِنَ اللهِ
بِالرِّسَالَةِ إِلَى النَّاسِ
Seorang
laki-laki yang dililih dan diutus Allah SWT dengan membawa risalah
kepada umat manusia.
Rasul merupakan
seorang pilihan diantara sekian banyak manusia yang berada di muka
bumi. Ia adalah manusia yang mulia dan terbaik, karena akan mengemban
sebuah amanah yang tidak ringan, yaitu menunjukkan jalan Allah kepada
umat manusia. Oleh karena itulah, sejak kecil, seorang rasul sudah
terlihat dengan memiliki ciri-ciri khusus yang tidak dimiliki oleh
orang lain. Karena ia akan membawa amanah yang tidak ringan. Secara
garis besar, amanah yang diembankan kepada rasul adalah:
1.
(حامل
الرسالة)
Membawa dan menyampaikan risalah
(al-Islam)
Mengenai hal ini,
Allah berfirman (QS. 5 : 67):
يَاأَيُّهَا
الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ
مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا
بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ
يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ
لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Hai
Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan
jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu
tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan)
manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang kafir.”
2.
(قدوة
في تطبيق الرسالة)
menjadi qudwah
(baca; tauladan) bagi umat manusia dalam mengaplikasikan risalah
yang dibawanya. Karena manusia tidak akan mungkin dapat melaksanakan
apa yang diperintahkan Al-Qur’an jika tidak dengan contoh dan
tauladan dari Rasulullah SAW. Demikian juga para nabi-nabi yang lain,
mereka memiliki tugas untuk menjadi qudwah
dalam mengaplikasikan risalah. Allah SWT berfirman (QS. 33 : 21) :
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ
حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ
كَثِيرًا
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Mengenai
nabi yang lain, Allah mencontohkan dalam Al-Qur’an (QS. 60 :4)
قَدْ
كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي
إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ
قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ
مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ
دُونِ اللَّهِ
كَفَرْنَا
بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ
الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا
حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya
telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang
yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:
"Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang
kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata
antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya
sampai kamu beriman kepada Allah saja.”
Kemudian sebagai
seorang muslim, kita perlu tahu secara jelas mengenai rasul beserta
ciri-cirinya. Diantara ciri-ciri rasul adalah sebagai berikut:
1.
(الصفات
الأساسية)
Memiliki sifat-sifat asasiyah.
Sifat asasiyah
ini terdiri dari sidiq,
amanah, tabligh
dan fathanah.
Sifat ini harus dimiliki oleh setiap rasul yang mengemban atau
membawa risalah
dari Allah SWT.
2.
(المعجزات)
Memiliki mu’jizat.
Salah satu contohnya
adalah mu’jizat Rasulullah SAW ketika membelah bulan. Allah
berfirman dalam (QS. 54 : 1 - 2):
اقْتَرَبَتِ
السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ *
وَإِنْ
يَرَوْا آيَةً يُعْرِضُوا وَيَقُولُوا
سِحْرٌ مُسْتَمِرٌّ*
“Telah
dekat (datangnya) saat itu dan telah terbelah bulan. Dan jika mereka
(orang-orang musyrikin) melihat sesuatu tanda (mu`jizat), mereka
berpaling dan berkata: "(Ini adalah) sihir yang terus menerus".
3.
(البشارات)
Berita kedatangannya.
Dalam al-Qur’an
Allah mengatakan (QS. 61 : 6):
وَإِذْ
قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَابَنِي
إِسْرَائِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ
إِلَيْكُمْ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ
يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا
بِرَسُولٍ يَأْتِي مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ
أَحْمَدُ فَلَمَّا جَاءَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ
قَالُوا هَذَا سِحْرٌ مُبِينٌ
“Dan
(ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata: "Hai Bani Israil,
sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab
(yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan
(datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya
Ahmad (Muhammad)" Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka
dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini
adalah sihir yang nyata".
4.
(النبوات)
Berita kenabian.
Setiap rasul
senantiasa membawa perintah Allah untuk mengajak umatnya ke jalan
yang baik. Perihal kerasulan merekapun Allah beritahukan. Dalam
al-Qur’an Allah berfirman (QS. 7 : 158)
قُلْ
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ
اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي
لَهُ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ
لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ
فَآمِنُوا بِاللَّهِ
وَرَسُولِهِ
النَّبِيِّ الأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ
لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Katakanlah:
"Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu
semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan
mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang
ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya
(kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk".
5.
(الثمرات)
Adanya hasil dari da’wah yang dilakukannya.
Hal ini dapat kita
lihat, pada hasil da’wah Rasulullah SAW yang dari segi kualitas,
mereka memiliki keimanan yang sangat kokoh, tidak tergoyahkan oleh
apapun juga. Kemudian dari segi kuantitas, jumlah mereka demikian
banyaknya, tersebar kesluruh pelosok jazirah Arab, bahkan melewati
jazirah Arab. Allah SWT berfirman (QS. 48 : 29):
مُحَمَّدٌ
رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ
أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ
بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا
يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِنَ اللَّهِ
وَرِضْوَانًا
سِيمَاهُمْ
فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ
ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ
وَمَثَلُهُمْ فِي الإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ
أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ
فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ
الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ
مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Muhammad
itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia
adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang
sesama mereka, kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia
Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka
dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan
sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang
mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu
menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu
menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak
menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang
mu'min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang
besar.”
Kedudukan Rasul.
Sebagai
manusia, seorang rasul juga memiliki ciri dan sifat yang sama dengan
manusia lain pada umumnya. Rasulullah SAW juga demikian, beliau
memiliki fisik yang sama sebagaimana sahabatnya, beliau juga memiliki
nasab. Hanya beliau mendapatkan wahyu yang tentunya tidak didapatkan
oleh orang lain, dan beliau memiliki kewajiban untuk menyampaikan
risalah tersebut kepada seluruh umat manusia. Berikut adalah beberapa
penjelasan mengenai kedudukan Rasulullah SAW:
1.
(عبد
من عباد الله)
Seorang rasul, ia
merupakan seorang hamba diatara hamba-hamba Allah lainnya. Rasulullah
SAW merupakan seroang hamba Allah sebagaimana yang lainnya. Beliau
juga beraktivitas sebagaimana mereka beraktivitas. Beliau makan,
minum, pergi ke pasar, beristri dan lain sebagainya. Beliau juga
merasakan sesuatu yang kita rasakan, baik rasa suka ataupun rasa
duka. Beliau juga mengalami sakit dan penderitaan sebagaimana kita
mengalaminya. Bahkan penderitaan yang beliau rasakan, jauh lebih
besar daripada penderitaan kita. Oleh karena itulah, sesungguhnya
hal-hal yang beliau lakukan, juga dapat kita lakukan. Karena kita
sama-sama manusia. Dan sesungguhnya tidak ada alasan bagi kita untuk
mengerjakan perintah Rasul karena Allah telah mengutus rasul itu dari
kalangan mereka sendiri yang sangat dekat dengan kehidupan mereka.
Hanya yang membedakannya adalah bahwa beliau mendapatkan wahyu dari
Allah SWT. Allah berfirman (QS. 18 : 110)
قُلْ
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى
إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ
وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ
رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا
وَلاَ
يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Katakanlah:
"Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah
Tuhan Yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan
Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah
ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".
2.
(رسول
من المرسلين)
Rasulullah SAW
merupakan seorang rasul diantara para rasul lainnya.
Rasulullah SAW selain
sebagai hamba biasa juga sebagai rasul yang mempunyai keutamaan dan
ciri-ciri kerasulan. Rasulullah SAW memiliki mu’jizat sebagaimana
para nabi dan rasul yang lain, dengan berbagai keutamaan lainnya.
Allah berfirman (QS. 3 : 144)
وَمَا
مُحَمَّدٌ إِلاَّ رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ
مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ
أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى
أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى
عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ
شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ
“Muhammad
itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu
sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh
kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke
belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah
sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang
bersyukur.”
Kerasulan Rasulullah
SAW dapat kita lihat dalam tiga hal:
a)
Tabligh
Risalah (تبليغ
الرسالة)
Artinya bahwa seorang
rasul harus menyampaikan risalah yang Allah amanahkan kepadapnya,
berupa addin
al-hanif
(agama yang benar). Allah berfriman (QS. 5 : 67)
يَاأَيُّهَا
الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ
مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا
بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ
يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ
لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Hai
Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan
jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu
tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan)
manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang kafir.”
b)
Menyampaikan/
menunaikan amanah (أداء
الأمانة)
Kita melihat bahwa
Rasulullah SAW telah menunaikan amanahnya sebagai seorang rasul.
Sepanjang hidupnya beliau mempergunakan umurnya guna menyeru orang ke
jalan Allah sebagai mana yang diamanahkan kepada beliau. Allah
berfirman (QS. 33 : 39)
مَا
كَانَ عَلَى النَّبِيِّ مِنْ حَرَجٍ
فِيمَا فَرَضَ اللَّهُ لَهُ سُنَّةَ
اللَّهِ فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ
قَبْلُ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا
مَقْدُورًا *
الَّذِينَ
يُبَلِّغُونَ رِسَالاَتِ اللَّهِ
وَيَخْشَوْنَهُ وَلاَ يَخْشَوْنَ أَحَدًا
إِلاّ اللَّهَ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا*
“Tidak
ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan
Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai
sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah
ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku. (yaitu)
orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut
kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang (pun) selain
kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan.”
c)
Pemimpin
umat (إمام
الأمة)
Artinya seorang rasul
adalah sebagai pemimpin bagi umatnya, yang mengantarkan mereka dari
jalan kesesatan menuju jalan hidayah Allah SWT.
Allah SWT berfirman
(QS. 17 : 71)
يَوْمَ
نَدْعُوا كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ
فَمَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ
فَأُولَئِكَ يَقْرَءُونَ كِتَابَهُمْ
وَلاَ يُظْلَمُونَ فَتِيلاً
“(Ingatlah)
suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan
pemimpinnya; dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan
kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak
dianiaya sedikitpun.”
Sifat-sifat Rasul.
Dalam
mengenal rasul, kita perlu mengetahui sifat-sifatnya, agar kita
mengetahui dengan benar siapa sesungguhnya rasul kita untuk kemudian
kita dapat mengikutinya. Dengan lebih mengenal sifat-sifat beliau
ini, akan lebih mententramkan jiwa dan raga kita dalam mengamalkan
sunnah-sunnahnya. Diantara sifat rasul adalah:
1.
(البشرية
الكاملة)
Manusia sempurna.
Allah
berfirman (QS. 14 : 11)
قَالَتْ
لَهُمْ رُسُلُهُمْ إِنْ نَحْنُ إِلاَّ
بَشَرٌ مِثْلُكُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ
يَمُنُّ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ
وَمَا كَانَ لَنَا أَنْ نَأْتِيَكُمْ
بِسُلْطَانٍ إلاَّ بِإِذْنِ اللَّهِ
وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ
الْمُؤْمِنُونَ
“Rasul-rasul
mereka berkata kepada mereka: "Kami tidak lain hanyalah manusia
seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia
kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan tidak patut bagi kami
mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan dengan izin Allah. Dan
hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakkal.”
2.
(العصمة)
Terpelihara dari kesalahan.
Allah berfirman (QS. 5
: 67)
يَاأَيُّهَا
الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ
مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا
بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ
يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاس
ِ
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ
الْكَافِرِينَ
“Hai
Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan
jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu
tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan)
manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang kafir.”
3.
(الصدق)
Benar.
Allah berfirman (QS.
53 : 3-4):
وَمَا
يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى*
إِنْ
هُوَ إِلاَ وَحْيٌ يُوحَى*
“Dan
tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).”
4.
(الفطانة)
Cerdas.
Allah berfirman (QS.
48 : 27)
لَقَدْ
صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا
بِالْحَقِّ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ
الْحَرَامَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
آمِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ
وَمُقَصِّرِينَ لاَ تَخَافُونَ فَعَلِمَ
مَا لَمْ تَعْلَمُوا فَجَعَلَ مِنْ دُونِ
ذَلِكَ فَتْحًا قَرِيبًا
“Sesungguhnya
Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya
dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki
Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur
rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut.
Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan
sebelum itu kemenangan yang dekat.”
5.
(الأمانة)
Amanah.
Allah berfirman (QS.
69 : 44-46)
وَلَوْ
تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الأَقَاوِيلِ
*
لأَخَذْنَا
مِنْهُ بِالْيَمِينِ *
ثُمَّ
لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ*
“Seandainya
dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami.
Niscaya benar-benar kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian
benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.”
6.
(التبليغ)
Menyampaikan.
Allah berfirman (QS. 5
: 67)
يَاأَيُّهَا
الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ
مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا
بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ
يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ
لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Hai
Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan
jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu
tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan)
manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang kafir.”
7.
(الإلتزام
الكامل)
Komimen yang sempurna.
Allah berfirman (QS.
17 : 73)
وَإِنْ
كَادُوا لَيَفْتِنُونَكَ عَنِ الَّذِي
أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ لِتَفْتَرِيَ
عَلَيْنَا غَيْرَهُ وَإِذًا لآَتَّخَذُوكَ
خَلِيلاً
“Dan
sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami
wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap
Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi
sahabat yang setia.”
Tugas Rasul.
Secara
garis besar, tugas rasul dibagi menjadi dua, yaitu sebagai pengemban
risalah da’wah dan kedua, sebagai penegak dinullah.
1.
(حامل
رسالة الدعوة)
Sebagai pengemban risalah da’wah
Inilah
tugas utama rasul yang secara langsung diamananhkan Allah terhadap
dirinya, sekaligus membimbing umat manusia dalam mengaplikasikan
ibadah kepada Allah SWT. Tugas rasul sebagai pengemban amanah da’wah
mencakup tiga aspek:
a)
(معرفة
الخالق)
Dalam mengenal Sang Pencipa.
Allah berfirman (QS. 6
: 19)
قُلْ
أَيُّ شَيْءٍ أَكْبَرُ شَهَادَةً قُلِ
اللَّهُ شَهِيدٌ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ
وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْآنُ
لِأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ
أَئِنَّكُمْ لَتَشْهَدُونَ أَنَّ مَعَ
اللَّهِ آلِهَةً أُخْرَى قُلْ لاَ
أَشْهَدُ قُلْ إِنَّمَا هُوَ إِلَهٌ
وَاحِدٌ وَإِنَّنِي بَرِيءٌ مِمَّا
تُشْرِكُونَ
Katakanlah:
"Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah:
"Allah. Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al Qur'an ini
diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu
dan kepada orang-orang yang sampai Al Qur'an (kepadanya). Apakah
sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan yang lain di samping
Allah?" Katakanlah: "Aku tidak mengakui". Katakanlah:
"Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan sesungguhnya
aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)".
b)
(كيفية
العبادة)
Menjelaskan cara beribadah.
Rasulullah SAW juga
memiliki tugas untuk mengajarkan cara untuk beribadah kepada Allah
SWT, agar mereka dapat melaksanakan ibadah dengan baik dan benar.
Salah satu contohnya adalah dalam masalah shalat. Rasulullah SAW
memberikan contoh yang sempurna dalam melaksanakan tata cara shalat.
Oleh karena itulah beliau bersabda:
عَنْ
أَبِي سُلَيْمَانَ مَالِكِ بْنِ
الْحُوَيْرِثِ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ارْجِعُوا
إِلَى أَهْلِيكُمْ فَعَلِّمُوهُمْ
وَمُرُوهُمْ وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي
أُصَلِّي وَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلاَةُ
فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ ثُمَّ
لِيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ (رواه
البخاري)
Dari Abu
Sulaiman Malik bin al-Huwairits, Rasulullah SAW bersabda, ‘Kembalilah
kalian pada keluarga kalian dan ajarkanlah mereka (islam) dan
perintahkanlan mereka. Serta shalatlah kalian sebagaimana kalian
melihatku melaksanakannya. Apabila tiba waku shalat, hendaklah salah
seorang diantara kalian mengumandangkan adzan, lalu salah seorang
diantaraka kalian yang paling dewasa menjadi imamnya.” (HR.
Bukhari)
c)
(منهج
الحياة)
Menjelaskan pedoman hidup.
Allah berfirman (QS. 6
: 153)
وَأَنَّ
هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ
وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ
بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ
بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan
bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka
ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain),
karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang
demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.”
d)
(التربية
– توجيه ونصيحة)
Membina dengan arahan dan nasihat.
Hal ini banyak sekali
kita jumpai dalam hadits, bagaimana Rasulullah SAW memberikan
arahan-arahan dan nasehat-nasehat yang pada intinya mengajak kita
pada kesempurnaan iman dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Salah satu
contohnya adalah :
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلاَثٌ مَنْ
كُنَّ
فِيهِ
وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ
أَنْ
يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ
إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ
يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ
لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ
فِي الْكُفْرِ
كَمَا
يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
(رواه
البخاري)
Dari Anas
bin Malik, Rasulullah SAW bersabda : Terdapat tiga hal, yang apabila
ketiganya melekat pada diri seseorang maka ia akan dapat merasakan
manisnya iman: (1) Mencintai Allah dan rasu-Nya melebihi dari cinta
apapun di dunia ini. (2) Mencintai seseorang hanya karena Allah. Dan
(3) Dia tidak menginginkan untuk kembali pada kekufurannya sebagaimna
ia tidak ingin dimasukkan ke dalam api neraka. (HR. Bukhari)
2.
(إقامة
دين الله)
Sebagai penegak dinullah.
Seorang rasul juga
memiliki tugas untuk menegakkan dinullah
di muka bumi ini, sehingga agama yang dibawanya dapat dijadikan
syari’at dan pedoman hidup yang dijunjung tinggi oleh kaumnya.
Allah berfirman (QS. 42 : 13)
شَرَعَ
لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ
نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ
وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ
وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا
الدِّينَ وَلاَ تَتَفَرَّقُوا فِيهِ
كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا
تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي
إِلَيْهِ
مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ
يُنِيبُ
“Dia
telah mensyari`atkan kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu
dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu:
Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat
berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya.
Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi
petunjuk kepada (agama) -Nya orang yang kembali (kepada-Nya).”
Menegakkan dinullah
ini mencakup tiga aspek:
a)
(إقامة
الخلافة)
Menegakkan khilafah.
Allah berfirman (QS.
24 : 55)
وَعَدَ
اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ
فِي الأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ
لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى
لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ
خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لاَ
يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ
بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُونَ
Dan Allah
telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka,
dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka
berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap
menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku.
Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka
itulah orang-orang yang fasik.”
b)
(بناء
الرجال)
Membina kader.
Allah berfirman (QS. 3
: 104)
وَلْتَكُنْ
مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى
الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ
هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung.”
c)
(منهاج
الدعوة)
Membuat konsepsi da’wah
Allah berfirman (QS. 3
: 159) mengenai perlunya konsepsi da’wah yang lembut terhadap
manusia dalam mengajak pada kebaikan:
فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ
وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ
لاَنْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ
عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ
وَشَاوِرْهُمْ
فِي
الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ
عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan
mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Keistimewaan
Risalah Muhammad SAW.
Rasulullah
SAW merupakan salah seroang rasul, diantara sekian banyak nabi dan
rasul lainnya. Setiap rasul memiliki keistimewaan tersendiri,
sebagaimana pada risalah yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW. Diantara
keistimewaan risalah beliau adalah:
1.
(خاتم
الأنبياء)
Penutup para nabi dan rasul.
Allah berfirman (QS.
33 : 40)
مَا
كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ
رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ
وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ
بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Muhammad
itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu,
tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.”
2.
(ناسخ
الرسالة)
Menghapus risalah sebelumnya.
Dalam sebuah hadits
diriwayatkan:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مَثَلِي
وَمَثَلَ الأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِي
كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى بَيْتًا فَأَحْسَنَهُ
وَأَجْمَلَهُ إِلاَّ مَوْضِعَ لَبِنَةٍ
مِنْ زَاوِيَةٍ فَجَعَلَ النَّاسُ
يَطُوفُونَ بِهِ وَيَعْجَبُونَ لَهُ
وَيَقُولُونَ هَلاَ وُضِعَتْ هَذِهِ
اللَّبِنَةُ قَالَ فَأَنَا اللَّبِنَةُ
وَأَنَا خَاتِمُ النَّبِيِّينَ (رواه
البخاري)
Dari Abu
Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya perumpamaanku
dengan perumpamaan para nabi sebelumku adalah seumpama seseorang yang
membangun sebuah rumah; di mana ia menjadikan rumah itu indah dan
sempurna. Namun rumah terdapat satu sisi dari rumah tersebut yang
belum disempurnakan (bau batanya) . Sehingga hal ini menjadikan
manusia menjadi heran dan bertanya-tanya, mengapa sisi ini tidak
disempurnakan? Dan akulah batu bata terakhir itu (yang menyempurnakan
bangunannya), dan aku adalah penutup para nabi. (HR. Bukhari)
Dalam hadits lain
diriwayatkan:
عَنْ
عَامِرٍ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ
الْخَطَّابِ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِنُسْخَةٍ مِنْ التَّوْرَاةِ فَقَالَ
يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ نُسْخَةٌ
مِنْ التَّوْرَاةِ فَسَكَتَ فَجَعَلَ
يَقْرَأُ وَوَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ
يَتَغَيَّرُ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ
ثَكِلَتْكَ الثَّوَاكِلُ مَا تَرَى مَا
بِوَجْهِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَظَرَ عُمَرُ
إِلَى وَجْهِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ غَضَبِ اللَّهِ
وَغَضَبِ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَضِينَا بِاللَّهِ
رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا
وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ
لَوْ بَدَا لَكُمْ مُوسَى فَاتَّبَعْتُمُوهُ
وَتَرَكْتُمُونِي لَضَلَلْتُمْ عَنْ
سَوَاءِ السَّبِيلِ وَلَوْ كَانَ حَيًّا
وَأَدْرَكَ نُبُوَّتِي لاَتَّبَعَنِي
“Dari
Jabir ra, bahwa Umar bin Khatab datang ke Rasulullah SAW dengan
membawa kitab taurat. Kemudian Umar berkata, wahai Rasulullah SAW,
ini merupakan nuskhah (bagian) dari kitab taurat.’ Rasulullah SAW
terdiam, lalu Umar membacanya sedangkan wajah Rasulullah SAW berubah.
Pada saat itu Abu Bakar mengatakan pada Umar, engkau menjadikan wajah
Rasulullah SAW berubah, lihatlah wajah beliau. Maka Umar melihat
wajah Rasulullah SAW dan berkata, ‘aku berlindung dari kemurkaan
Allah dan kemurkaan Rasulullah SAW. Aku ridha terhadap Allah sebagai
Rab, terhadap Islam sebagai agama dan terhadap Muhammad sebagai nabi
dan rasul. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, ‘Demi Dzat yang diriku
berada di tangannya, sekiranya tampak dihadapan nabi Musa as saat
ini, kemudian kalian mengikutinya serta meninggalkan aku, sungguh
kalian akan tersesat dari jalan yang lurus. Sekiranya Musa hidup dan
mengalami masa kenabianku, sungguh ia harus mengikutiku.” (HR.
Darimi)
3.
(مصدق
الأنبياء)
Membenarkan para nabi sebelumnya.
Allah berfirman (QS. 3
: 3)
نَزَّلَ
عَلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا
لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَأَنْزَلَ
التَّوْرَاةَ وَالإِنْجِيلَ
“Dia
menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepadamu dengan sebenarnya;
membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan
Taurat dan Injil.”
4.
(مكمل
الرسالة)
Menyempurnakan risalah para nabi sebelumnya.
Allah berfirman (QS. 3
: 50)
وَمُصَدِّقًا
لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ
وَلأُحِلَّ لَكُمْ بَعْضَ الَّذِي حُرِّمَ
عَلَيْكُمْ وَجِئْتُكُمْ بِآيَةٍ مِنْ
رَبِّكُمْ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ
“Dan
(aku datang kepadamu) membenarkan Taurat yang datang sebelumku, dan
untuk menghalalkan bagimu sebagian yang telah diharamkan untukmu, dan
aku datang kepadamu dengan membawa suatu tanda (mu`jizat)
dari Tuhanmu. Karena itu bertaqwalah kepada Allah dan taatlah
kepadaku.”
5.
(كافة
للناس)
Ditujukan untuk seluruh umat manusia.
Allah berfirman (QS.
34 : 28)
وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَافَّةً لِلنَّاسِ
بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
“Dan
Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya
sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi
kebanyakan manusia tiada mengetahui.”
6.
(رحمة
للعالمين)
Dijadikan sebagai rahmat bagi semesta alam.
Allah berfirman (QS.
21 : 107)
وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً
لِلْعَالَمِينَ
“Dan
tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam.”
Kewajiban Muslim
Terhadap Rasulullah SAW
Setelah
kita mengeahui berbagai hal mengenai kerasulan dan karakteristik atau
keistimewaan kerasulan Muhammad SAW, kini kita perlu mengetahui
mengenai kewajiban kita sebagai seorang muslim terhadap Rasulullah
SAW. Diantara kewajiban kita terhadap beliau adalah:
1.
(الإيمان
به)
Mengimaninya.
Allah berfirman (QS.
61 : 10 – 11)
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ
عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ
أَلِيمٍ*
تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ
فِي
سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ
وَأَنْفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ
إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ*
“Hai
orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan
yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan
harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu
mengetahuinya.”
2.
(المحبة)
Mencintainya.
Rasulullah SAW
bersabda:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَوَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ
حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ
وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ (رواه
البخاري)
Dari Abu
Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Demi Dzat yang diriku berada
di tangan-Nya, kalian tidaklah beriman, hingga kalian lebih mencintai
aku dari orang tuanya dan anaknya. (HR. Bukhari)
3.
(التعظيم)
Mengagungkannya.
Sebagai umatnya, kita
semua harus mengagungkan beliau sebagai seorang rasul, yang telah
menunjukkan pada kita jalan Allah yang lurus. Sehingga dalam setiap
doa kita, setiap ucapan kita, ceramah kita, dan lain sebagainya
senantiasa mengagungkan beliau. Dan salah satu cara untuk
mengagungkan beliau adalah dengan melaksakan sunnah-sunnahnya.
4.
(الدفاع
عنه)
Membelanya.
Demikian juga kita
harus membela Rasulullah SAW, terutama dari mereka-mereka yang ingin
mencela dan mengolok-olok Rasulullah SAW. Atau ‘mengkerdilkan’
sunnah nabawiyah.
5.
(محبة
من أحبه)
Mencintai mereka-mereka yang dicintainya.
Yaitu
secara umum para sahabatnya. Kita harus mencintai mereka dan tidak
boleh mencela atau mengejek serta mengolok-olok mereka:
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهَ اللَّهَ فِي
أَصْحَابِي اللَّهَ اللَّهَ فِي أَصْحَابِي
لَا تَتَّخِذُوهُمْ غَرَضًا بَعْدِي
فَمَنْ أَحَبَّهُمْ فَبِحُبِّي أَحَبَّهُمْ
وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ فَبِبُغْضِي
أَبْغَضَهُمْ وَمَنْ آذَاهُمْ فَقَدْ
آذَانِي وَمَنْ آذَانِي فَقَدْ آذَى
اللَّهَ وَمَنْ آذَى اللَّهَ يُوشِكُ
أَنْ يَأْخُذَهُ (رواه
الترمذي)
Dari
Abdillah bin Mughafal, Rasulullah SAW bersabda, ‘Takutlah kalian
kepada Allah dalam bersikap terhadap sahabatku setelah masaku. Dan
janganlah kalian menjadikan mereka sebagai tujuan (dalam celaan).
Karena barang siapa yang mencintai mereka maka dengan cintaku aku
mencintainya (mencintai orang yang mencintai sahabat). Dan barang
siapa yang membenci mereka, maka dengan kebencianku, aku membencinya.
Barang siapa yang menyakiti mereka, maka ia seperti menyakiti aku.
Dan barang siapa yang menyakiti aku, hampir-hampir Allah mengazabnya.
(HR. Tirmidzi)
6.
(إكثار
الصلوات)
Memperbanyak shalawat.
Allah berfirman (QS.
33 : 56)
إِنَّ
اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ
عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا
تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya
Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai
orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
7.
(الإتباع)
Mengikutinnya.
Allah berfirman (QS. 3
: 31)
قُلْ
إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ
فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ
غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah:
"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya
Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”
8.
(وارث
رسالته)
Mewarisi riwalahnya.
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ
فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ
طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ
الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا
رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ
الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ
فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الأَرْضِ
وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ
وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى
الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ
الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ
الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ
لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ
دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ
أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ (رواه
أبو داود)
Rasulullah
SAW bersabda, ‘Barang siapa yang melalui jalan untuk menuntut ilmu,
maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Dan
sesungguhnya malaikat akan meletakkan sayapnya karena ridha terhadap
mereka yang menuntut ilmu. Orang yang berilmu akan dimintakan ampun
oleh makhluk Allah yang ada di langit dan yang ada di bumi, sampai
ikan-ikan di dalam lautan juga memintakan ampunan buat mereka.
Keutamaan orang yang berilmu dengan orang yang ahli ibadah adalah
seumpama bulan pada saat purnama dibandingkan dengan bintang-bintang.
Dan orang yang berilmu (baca; ulama) merupakan pewaris para nabi.
Para nabi tidak mewariskan dinar atau dirham kepada mereka, namun
mereka mewariskan ilmu. Barang siapa yang mengambilnya, maka ia telah
mengambil bagian yang besar.” (HR. Abu Daud)
Penutup
Kelebihan
yang Allah berikan kepada manusia merupakan anugrah yang tiada
terhingga, apalagi yang bersifat akal dan fikiran, yang tentunya
tidak dimiliki oleh makhluk Allah lainnya. Namun menyandarkan hanya
kepada akal dalam mencapai hakekat Allah serta cara untuk beribadah
kepadanya, tentulah akal manusia tidak sanggup. Karena itu semua
diluar jangkauannya. Oleh karena itulah, adanya seorang rasul menjadi
kebutuhan yang sangat primer, guna menapaki kebahagiaan dunia dan
akhirat.
Namun
setelah Allah mengutus para rasul, banyak diantara umatnya yang
membangkang, mengolok-olok bahkan menyiksa para rasul tersebut.
Sehingga pada akhirnya, Allah mengazab mereka dengan azab yang pedih,
baik di dunia maupun di akhirat. Sejarah telah membuktikan hal
tersebut. Sekuat apapun mereka, akhirnya mereka hancur hanya karena
kesombongan untuk tidak mengikuti para Rasul.
Tinggallah
bagi kita untuk memetik perjalanan kehidupan umat yang terdahulu.
Akankah kita menginginkan kebinasaan, kesengsaraan, bencana,
malapetaka, baik di dunia maupun di akhirat. Ataukah sebaliknya, kita
menginginkan kebahagiaan, ketentraman, kedamaian hati, dan seterusnya
di dunia maupun di akhirat.? Jawabannya ada dalam sanubari kita
masing-masing. Ya Allah jadikanlah kami orang yang mencintai
Rasulullah SAW, dan juga orang yang dicintainya. Dan kumpulkanlah
kami kelak bersamanya… Amin.
Wallahu
A’lam bis Shawab.
By.
Rikza Maulan, Lc., M.Ag.
Daftar Bacaan
Al-Buthy, Muhammad
Sa’id Ramadhan. Sirah
Nabawiyah ; Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam di
Masa Rasulullah SAW.
Terj. 1999. Jakarta : Robbani Press.
Hadiri, Choiruddin.
Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an. 1996 - 1417. Cet. V. Jakarta :
Gema Insani Press.
Hawa, Sa’id.
Al-Rasul
(Silsilah Dirasat Manhajiyah Hadifah: Allah, Al-Rasul, Al-Islam).
1990 – 1410 H. Cet. II. Kairo – Mesir : Dar al-Salam Li
al-Taba’ah wa al-Nasr wa al-tauzi’ wa al-Tarjamah.
Al-Mubarokfuri, Syekh
Syafiyyur Rahman.
Al-Rahiq al-Makhtum : Sirah Nabawiyah.
Terj. 1997. Cet. I. Jakarta : Pustaka al-Kautsar.
Al-Munawir, Ahmad
Warson. Al-Munawir : Kamus
Arab – Indonesia.
Tanpa tahun. Yogyakarta : Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan
Pondok Pesantren Al-Munawir.
Al-Sa’dawi, Muhammad
Hamzah.
Menyaksikan 35 Mu’jizat Rasulullah SAW.
Terj. 1996. Cet. III. Surabaya: Pustaka Progressif.
CD. ROM. Al-Qur’an
6.50 & Al-Hadits.
Syirkah Sakhr li Baramij al-Hasib (1991 – 1997).
CD. ROM. Mausu’ah
al-Hadits al-Syarif 2.00
(Al-Ishdar al-Tsani). Syirkah al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah.
بسم الله الرحمن
الرحيم
MA’RIFATUL QUR’AN
معرفة
القرآن
Muqadimah
Ketika
manusia mencoba mengupas keagungan Al-Qur’an Al-Karim, maka ketika
itu pulalah manusia harus tunduk mengakui keagungaan dan kebesaran
Allah SWT. Karena dalam Al-Qur’an terdapat lautan makna yang tiada
batas, lautan keindahan bahasa yang tiada dapat dilukiskan oleh
kata-kata, lautan keilmuan yang belum terfikirkan dalam jiwa manusia
dan berbagai lautan-lautan lainnya yang tidak terbayangkan oleh indra
kita. Oleh karenanya, mereka-mereka yang telah dapat berinteraksi
dengan Al-Qur’an sepenuh hati, dapat merasakan ‘getaran
keagungan’ yang tiada bandingannya. Mereka dapat merasakan sebuah
keindahan yang tidak terhingga, yang dapat menjadikan orientasi dunia
sebagai sesuatu yang teramat kecil dan sangat kecil sekali. Sayid
Qutub, di dalam muqadimah Fi
Dzilalil Qur’annya
mengungkapkan:
الحياة
في ظلال القرآن نعمة .
نعمة
لا يعرفها إلا من ذاقها .
نعمة
ترفع العمر وتباركه وتزكيه .
والحمد
لله .
. لقد
منَّ علي بالحياة في ظلال القرآن فترة من
الزمان ، ذقت فيها من نعمته ما لم أذق قط
في حياتي .
Hidup di
bawah naungan Al-Qur’am merupakan suatu kenikmatan. Kenikmatan yang
tiada dapat dirasakan, kecuali hanya oleh mereka yang benar-benar
telah merasakannya. Suatu kenikmatan yang mengangkat jiwa, memberikan
keberkahan dan mensucikannya…. Dan Al-Hamdulillah… Allah telah
memberikan kenikmatan pada diriku untuk hidup di bawah naungan
Al-Qur’an beberapa saat dalam perputaran zaman. Di situ aku dapat
merasakan sebuah kenikmatan yang benar-benar belum pernah aku rasakan
sebelumnya sama sekali dalam hidupku.
Cukuplah menjadi bukti
keindahan bahasa Al-Qur’an, manakala diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq
dari Imam Zuhri (Abu Syahbah, 1996 : I/312):
Bahwa
suatu ketika, Abu Jahal, Abu Lahab dan Akhnas bin Syariq, yang secara
sembunyi-sembunyi mendatangi rumah Rasulullah SAW pada malam hari
untuk mendengarkan lantunan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca oleh
Rasulullah SAW dalam shalatnya. Mereka bertiga memiliki posisi yang
tersendiri, yang tidak diketahui oleh yang lainnya. Hingga ketika
Rasulullah SAW usai melaksanakan shalat, mereka bertiga memergoki
satu sama lainnya di jalan. Mereka bertiga saling mencela, dan
membuat kesepakatan untuk tidak kembali mendatangi rumah Rasulullah
SAW. Namun pada melam berikutnya, ternyata mereka bertiga tidak kuasa
menahan gejolak jiwanya untuk mendengarkan lantunan ayat-ayat
tersebut. Mereka bertiga mengira bahwa yang lainnya tidak akan datang
ke rumah Rasulullah SAW, dan mereka pun menempati posisi mereka
masing-masing. Ketika Rasulullah SAW usai melaksanakan shalat, mereka
pun memergoki yang lainnya di jalan. Dan terjadilah saling celaan
sebagaimana yang kemarin mereka ucapkan. Kemudian pada malam
berikutnya, gejolak jiwa mereka benar-benar tidak dapat dibendung
lagi untuk mendengarkan Al-Qur’an, dan merekapun menempati posisi
sebagaimana hari sebelumnya. Dana manakala Rasulullah SAW usai
melaksanakan shalat, mereka bertiga kembali memergoki yang lainnya.
Akhirnya mereka bertiga membuat ‘mu’ahadah’
(perjanjian) untuk sama-sama tidak kembali ke rumah Rasulullah SAW
guna mendengarkan Al-Qur’an.
Masing-masing
mereka mengakui keindahan Al-Qur’an, namun hawa nafsu mereka
memungkiri kenabian Muhammad SAW. Selain contoh di atas terdapat juga
ayat yang mengungkapkan keindahan Al-Qur’an. Allah mengatakan (QS.
58 : 21):
لَوْ
أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى
جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا
مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَتِلْكَ الأَمْثَالُ
نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُونَ
Kalau
sekiranya Kami menurunkan Al Qur'an ini kepada sebuah gunung, pasti
kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada
Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya
mereka berfikir.
Ta’rif.
Dari segi bahasa,
Al-Qur’an berasal dari qara’a,
yang berarti menghimpun dan menyatukan. Sedangkan Qira’ah
berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata yang satu dengan yang
lainnya dengan susunan yang rapih. (Al-Qattan, 1995 : 20)
Mengenai hal ini, Allah berfirman (QS. 75 : 17):
إِنَّ
عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ *
فَإِذَا
قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ *
“Sesungguhnya
atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu
pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka
ikutilah bacaannya itu.”
Al-Qur’an juga dapat
berarti bacaan, sebagai masdar dari kata qara’a. Dalam arti seperti
ini, Allah SWT mengatakan (QS. 41 : 3):
كِتَابٌ
فُصِّلَتْ آيَاتُهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا
لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Kitab
yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk
kaum yang mengetahui.”
Adapun dari segi
istilahnya, Al-Qur’an adalah:
كَلاَمُ
اللهِ الْمُعْجِزُ الْمُنَزَّلُ عَلَى
قَلْبِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الْمَنْقُوْلُ بِالتَّوَاتِرِ
الْمُتَعَبَّدُ بِتِلاَوَتِهِ
Al-Qur’an
adalah Kalamullah yang merupakan mu’jizat yang ditunukan kepada
nabi Muhammad SAW, yang disampaikan kepada kita secara mutawatir dan
dijadikan membacanya sebagai ibadah.
Keterangan dari defini
di atas adalah sebagai berikut:
1.
(كلام
الله)
Kalam Allah.
Bahwa Al-Qur’an
merupakan firman Allah yang Allah ucapkan kepada Rasulullah SAW
melalui perantaraan malaikat Jibril as. Firman Allah merupakan kalam
(perkataan), yang tentu saja tetap berbeda dengan kalam manusia,
kalam hewan ataupun kalam para malaikat.
Allah berfirman (QS.
53 : 4) :
إِنْ هُوَ إِلاَّ
وَحْيٌ يُوحَى
Ucapannya
itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
2.
(المعجز)
Mu’jizat.
Kemu’jizaan
Al-Qur’an merupakan suatu hal yang sudah terbukti dari semejak
zaman Rasulullah SAW hingga zaman kita dan hingga akhir zaman kelak.
Dari segi susunan bahasanya, sejak dahulu hingga kini, Al-Qur’an
dijadikan rujukan oleh para pakar-pakar bahasa. Dari segi isi
kandungannya, Al-Qur’an juga sudah menunjukkan mu’jizat, mencakup
bidang ilmu alam, matematika, astronomi bahkan juga ‘prediksi’
(sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-Rum mengenai bangsa Romawi
yang mendapatkan kemenangan setelah kekalahan), dsb. Salah satu bukti
bahwa Al-Qur’an itu merupakan mu’jizat adalah bahwa Al-Qur’an
sejak diturunkan senantiasa memberikan tantangan kepada umat manusia
untuk membuat semisal ‘Al-Qur’an tandingan’, jika mereka
memiliki keraguan bahwa Al-Qur’an merupakan kalamullah. Allah SWT
berfirman (QS. 2 : 23 - 24):
وَإِنْ
كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا
عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ
مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ
مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ
صَادِقِينَ*
فَإِنْ
لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا
فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا
النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ
لِلْكَافِرِينَ*
Dan jika
kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan
kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal
Al Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu
orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat (nya) dan
pasti kamu tidak akan dapat membuat (nya), peliharalah dirimu dari
neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi
orang-orang kafir.”
Bahkan dalam ayat
lainnya, Allah menantang mereka-mereka yang ingkar terhadap Al-Qur’an
untuk membuat semisal Al-Qur’an, meskipun mereka mengumpulkan
seluruh umat manusia dan seluruh bangsa jin sekaligus (QS. 17 : 88):
قُلْ
لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الإِنْسُ وَالْجِنُّ
عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا
الْقُرْآنِ لاَ يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ
وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ
ظَهِيرًا
“Katakanlah:
"Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang
serupa Al Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang
serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi
sebagian yang lain".
3.
(المنزل
على قلب محمد صلى الله عليه وسلم)
Diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Bahwa Al-Qur’an ini
diturunkan oleh Allah SWT langsung kepada Rasulullah SAW melalui
perantaraan malaikat Jibril as. Allah SWT menjelaskan dalam Al-Qur’an
(QS. 26 : 192 - 195)
وَإِنَّهُ
لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ*
نَزَلَ
بِهِ الرُّوحُ الأَمِينُ*
عَلَى
قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ
بِلِسَانٍ
عَرَبِيٍّ مُبِينٍ
*
“Dan
sesungguhnya Al Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta
alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril), ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang
memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.”
4.
(المنقول
بالتواتر)
Diriwayatkan secara mutawatir.
Setelah Rasulullah SAW
mendapatkan wahyu dari Allah SWT, beliau langsung menyampaikan wahyu
tersebut kepada para sahabatnya. Diantara mereka terdapat beberapa
orang sahabat yang secara khusus mendapatkan tugas dari Rasulullah
SAW untuk menuliskan wahyu. Terkadang Al-Qur’an ditulis di pelepah
korma, di tulang-tulang, kulit hewan, dan sebagainya. Diantara yang
terkenal sebagai penulis Al-Qur’an adalah: Ali bin Abi Thalib,
Mu’awiyah, Ubai ibn Ka’b dan Zaid bin Tsabit. Demikianlah, para
sahabat yang lain pun banyak yang menulis Al-Qur’an meskipun tidak
mendapatkan instruksi secara langsung dari Rasulullah SAW. Namun pada
masa Rasulullah SAW ini, Al-Qur’an belum terkumpulkan dalam satu
mushaf sebagaimana yang ada pada saat ini.
Pengumpulan Al-Qur’an
pertama kali dilakukan pada masa Khalifah Abu Bakar Al-Shidiq, atas
usulan Umar bin Khatab yang khawatir akan hilangnya Al-Qur’an,
karena banyak para sahabat dan qari’ yang gugur dalam peperangan
Yamamah. Tercatat dalam peperangan ini, terdapat tiga puluh sahabat
yang syahid. Mulanya Abu Bakar menolak, namun setelah mendapat
penjelasan dari Umar, beliaupun mau melaksanakannya. Mereka berdua
menunjuk Zaid bin Tsabit, karena Zaid merupakan orang terakhir kali
membacakan Al-Qur’an di hadapan Rasulullah SAW sebelum beliau
wafat. Pada mulanya pun Zaid menolak, namun setelah mendapatkan
penjelasan dari Abu Bakar dan Umar, Allah pun membukakan pintu
hatinya. Setelah ditulis, Mushaf ini dipegang oleh Abu Bakar,
kemudian pindah ke Umar, lalu pindah lagi ke tangan Hafshah binti
Umar. Kemudian pada masa Utsman bin Affan ra, beliau memintanya dari
tangan Hafsah. (Al-Qatthan, 1995 : 125 – 126).
Kemudian pada Utsman
bin Affan, para sahabat banyak yang berselisih pendapat mengenai
bacaan (baca; qiraat) dalam Al-Qur’an. Apalagi pada masa beliau
kekuasan kaum muslimin telah menyebar sedemikian luasnya. Sementara
para sahabat terpencar-pencar di berbagai daerah, yang masing-masing
memiliki bacaan/ qiraat yang berbeda dengan qiraat sahabat lainnya.
(Qiraat sab’ah). Kondisi seperti ini membuat suasana kehidupan kaum
muslimin menjadi sarat dengan perselisihan, yang dikhawatirkan
mengarah pada perpecahan. Pada saat itulah, Hudzifah bin al-Yaman
melaporkan ke Utsman bin Affan, dan disepakati oleh para sahabat
untuk mrnyslin mushaf Abu Bakar dengan bacaan/ qiraat yang tetap pada
satu huruf. Utsman memerintahkan kepada (1) Zaid bin Tsabit, (2)
Abdullah bin Zubair, (3) Sa’d bin ‘Ash, (4) Abdul Rahman bin
Harits bin Hisyam untuk menyalin dan memperbanyak mushaf. Dan jika
terjadi perbedaan diantara mereka, maka hendaknya Al-Qur’an ditulis
dengan logat Quraisy. Karena dengan logat Quraisylah Al-Qur’an
diturunkan. Setelah usai penulisan Al-Qur’an dalam beberapa mushaf,
Utsman mengirimkan ke setiap daerah satu mushaf, serta beliau
memerintahkan untuk membakar mushaf atau lembaran yang lain.
Sedangkan satu mushaf tetap di simpan di Madinah, yang akhirnya
dikenal dengan sebutan mushaf imam. Kemudian mushaf asli yang dipinta
dari Hafsah, dikembalikan pada beliau. Sehingga jadilah Al-Qur’an
dituliskan pada masa Utsman dengan satu huruf, yang sampai pada
tangan kita. (Al-Qatthan, 1995 : 128 – 131)
5.
(المتعبد
بتلاوته)
Membacanya sebagai ibadah.
Dalam setiap huruf
Al-Qur’an yang kita baca, memiliki nilai ibadah yang tiada
terhingga besarnya. Dan inilah keistimewaan Al-Qur’an, yang tidak
dimiliki oleh apapun yang ada di muka bumi ini. Allah berfirman (QS.
35 : 29 – 39)
إِنَّ
الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ
وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَأَنْفَقُوا
مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلاَنِيَةً
يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ*
لِيُوَفِّيَهُمْ
أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ
إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ*
“Sesungguhnya
orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan
menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka
dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan
perniagaan yang tidak akan merugi. Agar Allah menyempurnakan kepada
mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karuniaNya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.”
Dalam sebuah hadits,
Rasulullah SAW juga pernah mengatakan:
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَرَأَ حَرْفًا
مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ
وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا
لاَ أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ
حَرْفٌ وَلامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
(رواه
الترمذي)
Dari
Abdullah bin Mas’ud ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa
yang membaca satu huruf dari kitabullah (Al-Qur’an), maka ia akan
mendapatkan satu kebaikan. Dan satu kebaikan itu dengan sepuluh kali
lipatnya. Aku tidak mengatakan bahwa Alif Lam Mim sebagai satu haruf.
Namun Alif merupakan satu huruf, Lam satu huruf dan Mim juga satu
huruf.” (HR. Tirmidzi)
Konsekwensi
Keimanan Terhadap Al-Qur’an.
Sebenarnya
Allah SWT tidak pernah memaksa umat manusia untuk menjadikan
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup mereka. Allah hanya memberikan yang
terbaik dan yang lpaling sesuai dengan manusia dalam menapaki serta
meniti jalan kehidupan ini agar mereka mendapatkan kebahagian hakiki
baik di dunia maupun di akhirat. Hanya mereka-mereka yang dapat
berfikir sehatlah, yang mau menjadikan Al-Qur’an sebagai kitabul
hidayah
dalam segala aspek kehidupan mereka. Bagi mereka yang memiliki
keimanan kepada Allah, terdapat beberapa hal yang menjadi konsekwensi
keimanan mereka terhadap Al-Qur’an, yaitu:
1.
(الأنس
به)
Senantiasa ‘dekat’ dengan Al-Qur’an.
Dekat dengan Al-Qur’an
maksudnya adalah senantiasa memiliki keinginan untuk berinteraksi
secara dekat dengan Al-Qur’an. Interaksi ini tergambarkan dalam dua
hal:
a)
(تعلمه)
Mempelajarinya.
Al-Qur’an ibarat
lautan yang sarat dengan mutiara-mutiara yang tiada terhingga
jumlahnya. Dari sisi manapun kita membuka lembaran-lembaranya, akan
kita jumpai hal-hal yang tidak pernah kita dapatkan sebelumnya di
manapun. Oleh karena itulah, mempelajari Al-Qur’an merupakan satu
hal yang teramat sangat penting dalam kehidupan manusia. Generasi
awal umat ini dapat maju dan menjadi pemimpin dunia, adalah karena
mereka benar-benar mempelajari Al-Qur’an untuk kemudian
diamalkannya. Mempelajari Al-Qur’an mecakup beberapa aspek:
(تلاوة)
Dari sisi tilawahnya, mencakup tajwid, makharijul huruf, qiraah dan
lain sebagainya. Sehingga dirinya dapat membaca Al-Qur’an dengan
baik dan benar. Karena jika terdapat kesalahan dalam membaca,
berakibat pada perubahan maknanya. Dalam sebuah hadits dikatakan:
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ
الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِي
يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ
فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ
أَجْرَانِ (رواه
مسلم)
Dari
Aisyah ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Seseroang yang mahir dalam
membaca Al-Qur’an, kelak ia akan dikumpulkan bersama para malaikat
yang mulia dan suci. Dan orang yang masih terbata-bata membacanya
lagi berat, maka ia akan mendapatkan pahala dua kali lipat. (HR.
Muslim)
(فهما)
Dari sisi pemahamannya, mencakup masalah ibadah, muamalah, jihad, dan
lain sebagainya. Pemahaman sangat penting karena merupakan pijakan
dalam mengaplikasikannya dalam kehidupan riil. Tanpa pemahaman yang
baik, tentulah akan sulit dalam merealisasikan Al-Qur’an pada
kehidupan nyata. Allah menggambarkan dalam Al-Qur’an mengenai
mereka-mereka yang tidak mau memahami ayat-ayat Allah (QS. 7 : 179):
وَلَقَدْ
ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ
الْجِنِّ وَالإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَ
يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ
لاَ يُبْصِرُونَ بِهَا
وَلَهُمْ
آذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ
كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ
هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari
jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya
untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi)
tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah),
dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak,
bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.
(تطبيقا)
Dari sisi perealisasiannya, mencakup bidang ekonomi, sosial, politik
dsb. Karena merealisasikan Al-Qur’an dalam kehidupan nyata
merupakan perintah Allah kepada seluruh umat Islam. Artinya hal ini
sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan. Allah berfirman (QS. 5
: 44)
وَمَنْ
لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barangsiapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka
itu adalah orang-orang yang kafir.
(حفظا)
Dari sisi menghafal ayat-ayat dan surat-surat dalam Al-Qur’an.
Karena menghafal Al-Qur’an memiliki keistimewaan tersendiri. Dahulu
para sahabat, kebanyakan dari mereka hafal Al-Qur’an. Demikian juga
para salafuna shaleh, serta para Imam-Imam kaum muslimin. Ahli Tafsir
pun memberikan syarat kehursan hafal Al-Qur’an bagi siapa saja yang
ingin menjadi penafsirnya. Mengenai keutamaan penghafal Al-Qur’an
Rasulullah SAW pernah bersabda:
عَنْ
عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ
وَحَفِظَهُ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ
وَشَفَّعَهُ فِي عَشَرَةٍ مِنْ أَهْلِ
بَيْتِهِ كُلُّهُمْ قَدْ اسْتَوْجَبُوا
النَّارَ (رواه
ابن ماجه)
Dari Ali
bin Abi Thalib, ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa yang
membaca Al-Qur’an dan menghafalnya, maka Allah akan memasukkannya
ke dalam surga dan memberinya hak syafaat untuk sepuluh anggota
keluarganya yang telah ditetapkan masuk neraka. (HR. Ibnu Majah)
b)
(تعليمه)
Mengajarkannya pada orang lain.
Sebagai seorang muslim
yang baik, tidak akan merasa cukup dengan mempelajarinya saja untuk
kemudian dijadikan bekal bagi dirinya sendiri. Namun lebih dari itu,
setiap muslim memiliki kewajiban untuk mengajarkannya kepada orang
lain. Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengatakan bahwa
pengajar Al-Qur’an adalah sebaik-baik mu’min:
عَنْ
عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ
الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ (رواه
البخاري)
Dari
Utsman ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Sebaik-baik kalian adalah yang
mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya). (HR. Bukhari)
Mengajarkan Al-Qur’an
kepada orang lain juga mencakup empat hal dalam mempelajarinya,
yaitu, dari segi tilawah, pemahaman, pengaplikasian dan
penghafalannya.
2.
(تربية
النفس به)
Mentarbiyah diri dengan Al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan
Kitabul
Hidayah,
yang dapat merubah suatu kondisi masyarakat dari kejahiliyahan menuju
masyarakat Islam. Rasulullah SAW telah membuktikannya dengan merubah
kondisi bangsa Arab yang suka peperangan, perampasan hak, kedustaan,
khomer, perzinaan, pembunuhan, riba dan lain sebagainya menjadi
masyarakat yang cinta perdamaian, persamaan hak, kejujuran, kasih
sayang, keadilan dan lain sebagainya. Kesemuanya dapat dilakukan
karena Al-Qur’an merupakan kitabul
hidayah;
memberikan hidayah kepada manusia dari kegelapan menuju cahaya Islam
yang terang benderang. Al-Qur’an banyak sekali mengungkapkan
mengenai fungsi Al-Qur’an sebagai kitabul
hidayah,
diantaranya adalah:
الم*
ذَلِكَ
الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى
لِلْمُتَّقِينَ*
“Alif
Laam Miim. Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk
bagi mereka yang bertakwa.”
3.
(التسليم
لأحكامه)
Menerima sepenuh hati segala hukum yang terdandung di dalamnya.
Jika kita memahami
bahwa bahwa Al-Qur’an merupakan Kalam Allah yang diwahyukan kepada
Rasulullah SAW, tentulah kita akan dengan segera melaksanakan isi
kandungan dari Al-Qur’an. Karena segala perintah, larangan, pesan
atau apapun yang terdapat di dalamnya, merupakan perintah, larangan,
pesan dari Allah SWT. Dan di sinilah keimanan kita akan diuji oleh
Allah SWT. Orang yang beriman, ia akan dengan segera melaksanakan
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Allah berfirman (QS. 33 :
36)
وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا
قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ
يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ
أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ
فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا
“Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”
4.
(الدعوة
إليه)
Berda’wah (mengajak) orang lain kepada Al-Qur’an.
Karena kita meyakini
bahwa hanya Al-Qur’anlah satu-satunya pedoman hidup yang dapat
membahagiakan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Hanya
Al-Qur’anlah yang dapat memberikan keteduhan, ketenangan dan
kesejukan dalam tiap diri insan. Al-Qur’an telah terbukti
menjadikan umat Islam mampu menjadi pemimpin dunia dalam kurun waktu
yang relatif lama. Al-Qur’an juga mampu merubah kondisi suatu
bangsa dari jurang kebobrokan menuju puncak kemuliaan. Oleh karena
itulah, salah satu konsekwensi keimanan kita kepada Al-Qur’an
adalah mengajak mereka dengan cara yang bijak untuk bersama-sama
menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Allah SWT mengatakan
(QS. 16 : 125)
ادْعُ
إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ
وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ
هُوَ
أَعْلَمُ
بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ
أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk.”
5.
(إقامته
في الأرض)
Menegakkannya di muka bumi.
Allah SWT telah
menuntut pada kaum-kaum yang terdahulu untuk menegakkan agama-Nya di
muka bumi, maka demikian pula halnya dengan umat Islam. Allah
menuntut pada kita untuk menegakkan agama-Nya, dengan menegakkan
Al-Qur’an. Menegakkan Al-Qur’an adalah dengan menegakkan
hukum-hukumnya di muka bumi yang menjadi hukum seluruh umat manusia
di manapun mereka berada. Allah SWT berfirman (QS. 42 : 13)
شَرَعَ
لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ
نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ
وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ
وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا
الدِّينَ وَلاَ تَتَفَرَّقُوا فِيهِ
كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا
تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي
إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ
مَنْ يُنِيبُ
“Dia
telah mensyari`atkan kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu
dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu:
Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat
berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya.
Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi
petunjuk kepada (agama) -Nya orang yang kembali (kepada-Nya).”
Karena sesungguhnya
Allah SWT telah memberikan janji untuk menegakkan agama ini
sebagaimana telah ditegakkan oleh umat-umat sebelum kita.
Bagaimanapun kondisinya, suatu ketika Al-Islam akan menjadi pedoman
hidup dan hukum yang menjadi acuan bagi kehidupan seluruh umat
manusia. Allah mengatakan (QS. 24 : 55)
وَعَدَ
اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ
فِي الأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِهِمْ
وَلَيُمَكِّنَنَّ
لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى
لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ
خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لاَ
يُشْرِكُونَ
بِي
شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu
dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka,
dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka
berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap
menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku.
Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka
itulah orang-orang yang fasik.”
Al-Qur’an Sebagai
Minhajul
Hayah.
Konsepsi
inilah yang pada akhirnya dapat mengeluarkan umat manusia dari
kejahiliyahan menuju cahaya Islam. Dari kondisi tidak bermoral
menjadi memiliki moral yang sangat mulia. Dan sejarah telah
membuktikan hal ini terjadi pada sahabat Rasulullah SAW. Sayid Qutub
mengemukakan (1993 : 14) :
“Bahwa
sebuah generasi telah terlahir dari da’wah – yaitu generasi
sahabat – yang memiliki keistimewaan tersendiri dalam sejarah umat
Islam, bahkan dalam sejarah umat manusia secara keseluruhan. Generasi
seperti ini tidak muncul kedua kalinya ke atas dunia ini sebagaimana
mereka… Meskipun tidak disangkal adanya beberapa individu yang
dapat menyamai mereka, namun tidak sama sekali sejumlah besar
sebagaimana sahabat dalam satu kurun waktu tertentu, sebagaiamana
yang terjadi pada periode awal dari kehidupan da’wah ini…”
Cukuplah kesaksian
Rasulullah SAW menjadi bukti kemulyaan mereka, manakala beliau
mengatakan dalam sebuah haditsnya:
عن
عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُكُمْ
قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Dari
Imran bin Hushain ra, Rasulullah SAW bersabda: ‘Sebaik-baik kalian
adalah generasi yang ada pada masaku (para sahabat) , kemudian
generasi yang berikutnya (tabi’in) , kemudian generasi yang
berikutnya lagi (atba’ut tabiin). (HR. Bukhari)”
Imam Nawawi secara
jelas mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan ‘generasi pada
masaku’ adalah sahabat Rasulullah SAW. Dalam hadits lain,
Rasulullah SAW juga mengemukakan mengenai keutamaan sahabat:
عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ
تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ
أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ
ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ
وَلاَ نَصِيفَهُ (رواه
البخاري)
Dari Abu
Sa’id al-Khudri ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Janganlah kalian
mencela sahabat-sahabatku. Karena sekiranya salah seorang diantara
kalian menginfakkan emas sebesar gunung uhud, niscaya ia tidak akan
dapat menyamai keimanan mereka, bahkan menyamai setengahnya pun
tidak. (HR. Bukhari).
Sayid
Qutub mengemukakan (1993 : 14 – 23) , terdapat tiga hal yang
melatar belakangi para sahabat sehingga mereka dapat menjadi khairul
qurun,
yang tiada duanya di dunia ini. Secara ringkasnya adalah sebagai
berikut:
pertama,
karena mereka menjadikan Al-Qur'an sebagai satu-satunya sumber
petunjuk jalan, guna menjadi pegangan hidup mereka, dan mereka
membuang jauh-jauh berbagai sumber lainnya.
Kedua,
ketika mereka membacanya, mereka tidak memiliki tujuan untuk
tsaqofah, pengetahuan, menikmati keindahannya dan lain sebainya.
Namun mereka membacanya hanya untuk mengimplementaikan apa yang
diinginkan oleh Allah dalam kehidupan mereka.
Ketiga,
mereka membuang jauh-jauh segala hal yang berhubungan dengan masa
lalu ketika jahiliah. Mereka memandang bahwa Islam merupakan titik
tolak perubahan, yang sama sekali terpisah dengan masa lalu, baik
yang bersifat pemikiran maupun budaya.
Dengan
ketiga hal inilah, generasi sahabat muncul sebagai generasi terindah
yang pernah terlahir ke dunia ini. Di sebabkan karena ‘ketotalitasan’
mereka ketika berinteraksi dengan Al-Qur’an, yang dilandasi sebuah
keyakinan yang sangat mengakar dalam lubuk sanubari mereka yang
teramat dalam, bahwa hanya Al-Qur’an lah satu-satunya pedoman hidup
yang mampu mengantarkan manusia pada kebahagiaan hakiki baik di dunia
maupun di akhirat.
Penutup
Tinggallah
dua pilihan masih ternganga di hadapan kita; antara jaya dengan
Al-Qur’an, atau binasa dengan meninggalkannya. Sejarah telah
berbicara sebagai fakta abadi; bahwa umat ini dapat memperoleh
izzahnya dengan Al-Qur’an. Dan merekapun Allah kerdilkan karena
meninggalkan Al-Qur’an. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW
mengatakan:
عَنْ
عُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
إِنَّ
اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ
أَقْوَامًا
وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ
Dari Umar
bin Khatab ra. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT
akan mengangkat derajat suatu kaum dengan kitab ini (al-Qur’an),
dengan dengannya pula Allah akan merendahkan kaum yang lain.” (HR.
Muslim)
Wallahu
A’lam Bis Shawab.
By.
Rikza Maulan, Lc., M.Ag.
Bahan Bacaan
Hadiri, Choiruddin.
Klaifikasi
Kandungan Al-Qur’an.
1996. Cet. V. Jakarta – Indonesia : Gema Insani Press.
Al-Qatthan, Manna’.
Mabahits
fi Ulumil Qur’an.
1995 – 1416 H. Cet. XXVII. Beirut – Libanon : Mu’assasah
al-Risalah.
Quthb, Sayyid. Ma’alim
fi Al-Thariq.
1993 – 1413 H. Cet. XVII. Beirut – Libanon / Kairo -
Mesir: Dar Al-Syuruq.
Syahbah, Muhammad ibn
Muhammad. Al-Sirah
Al-Nabawiyah Fi Dhau’ Al-Qur’an wa Al-Sunnah : Dirasah
Muharrarah, Jama’at Bain Ashalah Al-Qadim wa Jiddatil Hadits.
1996 – 1417 H. Cet. III. Damaskus : Dar Al-Qalam.
CD. ROM. Fi Dzilal
Al-Qur’an. Versi 1.6. Amman – Yordania : Dar Husibah al-Nash
al-Araby (Arabic Text ware).
CD. ROM. Al-Qur’an
6.50 & Al-Hadits.
Syirkah Sakhr li Baramij al-Hasib (1991 – 1997).
CD. ROM. Mausu’ah
al-Hadits al-Syarif 2.00
(Al-Ishdar al-Tsani). Syirkah al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah.
بسم الله الرحمن
الرحيم
UKHUWAH ISLAMIYAH
الأخوة
الإسلامية
Muqadimah
Ukhuwah
merupakan anugrah Allah yang tiada terhingga yang Allah limpahkan
hanya kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya saja. Ukhuwah juga
merupakan kenikmatan yang tidak dapat diukur oleh materi apapun yang
ada di dunia ini. Bahkan kendatipun seluruh manusia sepakat untuk
mengumpulkan semua kekayaan mereka, namun itu semua tidak dapat
digunakan untuk membeli ‘ukhuwah’. Karena ukhuwah tumbuh dan
lahir dari cahaya keimanan yang membara dalam sanubari seorang hamba.
Allah SWT mengatakan dalam Al-Qur’an (QS. 8 : 63) :
وَأَلَّفَ
بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا
فِي الأَرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ
بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ
أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ
حَكِيمٌ*
“Dan
(Allahlah) Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang
beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan)
yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati
mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.
Sesungguhnya
Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Itulah
ukhuwah Islamiyah, yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan
para sahabatnya. Dan banyak pula diamalkan oleh generasi berikutnya
hingga pada masa kita sekarang ini. Walaupun seolah dengan berlalunya
zaman, berlalu pula ruh ukhuwah dari dalam jiwa kaum muslimin. Bahkan
jika kita perhatikan kondisi kontemporer kaum muslimin, kita
mendapatkan terjadinya perpecahan yang tiada berkesudahan. Padahal,
perpecahan merupakan sesuatu yang sangat dilarang dalam Islam. Allah
SWT berfirman (QS. 3 : 103) :
وَاعْتَصِمُوْا
بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ
تَفَرَّقُوْا، وَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ
اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً
فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ
فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا…*
“Dan
berpegang teguhlah kalian pada tali Allah (Al-Islam) dan janganlah
kalian berpecah belah. Dan ingatlah oleh kalian akan nikmat Allah
yang diberikan pada kalian, ketika dahulu kalian saling bermusuhan
lalu Allah satukan diantara hati kalian. Dan jadilah kalian atas
kenikmatan Allah tersebut menjadi bersaudara…”
Mereka
menjalin persaudaraan yang demikian eratnya, bahkan lebih erat dari
persaudaraan yang terlahir karena adanya garis nasab. Oleh karena
itulah, Allah menggambarkan hal ini sebagai suatu kenikmatan yang
tidak dapat diukur dengan ukuran materiil, sebesar apapun materi
tersebut.
Makna
Ukhuwah
Dari
segi bahasa, ukhuwah merupakan bentuk mashdar
(baca; infinitif) dari kata ‘Akha’
yang berarti bersaudara. Sedangkan ukhuwah berarti persaudaraan.
Adapun dari segi istilahnya, para ulama memiliki definisi yang
beragam. Diantaranya adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Dr.
Abdullah Nasih Ulwan : (1997 : 5)
الأخوة
هي قوة إيمانية تورث الشعور العميق
بالعاطفة، والمحبة، والإحترام، والثقة
المتبادلة..
مع كل
من يربطه وإياه أواصر العقيدة الإسلامية
ووشائح الإيمان والتقوى..
Ukhuwah
merupakan kekuatan iman yang melahirkan perasaan kasih sayang yang
mendalam, cinta, penghormatan dan rasa saling tisqah (baca; salinng
percaya), terhadap seluruh insan yang memiliki ikatan aqidah
Islamiyah yang sama dan juga yang memiliki cahaya keimanan dan
ketaqwaan..
Jadi,
ukhuwah merupakan sesuatu yang terlahir dari keimanan yang mendalam,
dan juga merupakan buah dari ketaqwaan kepada Allah SWT. Oleh karena
itulah, ulama mengatakan, bahwa tidak
ada iman tanpa ukhuwah, sebagaimana tidak ada ukhuwah tanpa adanya
pondasi iman.
Membenarkan hal tersebut, firman Allah SWT (QS. 49 : 10)
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا
بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ
لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ*
“Sesungguhnya
orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara
kedua
saudaramu
dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.”
Adapun
mengenai ukhuwah sebagai buah dari ketaqwaan, sekaligus menafikan
tentang persahabatan tanpa adanya ketaqwaan (QS. 43 : 67) :
الأَخِلاَّءُ
يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ
إِلاَّ الْمُتَّقِينَ*
“Teman-teman
akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain
kecuali
orang-orang yang bertakwa.”
Dari sini
kita juga dapat mengambil kesimpulan, bahwa seorang yang beriman
apabila tidak memiliki rasa ukhuwah terhadap sesama muslim lainnya,
hal ini menunjukkan bahwa imannya belum sempurna. Dalam hadits,
Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ
أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا
يُحِبُّ لِنَفْسِهِ (رواه
البخاري)
Dari
Qatadah ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidak beriman salah seorang
diantara kalian, hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia
mencintai dirinya sendiri.’ (HR. Bukhari)
Keutamaan
Ukhuwah
Di
luar keutamaan yang terkandung dalam ukhuwah, sesungguhnya sebelum
segala-galanya, ukhuwah merupakan perintah Allah SWT. Perhatikan
firman Allah berikut (QS. 3 : 103)
وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ
تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ
اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ
أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ
فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ
النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ
يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ
لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ*
“Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika
kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah
orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang
neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
Ayat di
atas melarang kita untuk bercerai berai. Sedangkan bercerai berai
merupakan lawan dari persatuan, yang menjadi salah satu komponen
mendasar ukhuwah islamiyah. Namun demikian, disamping sebagai
kewajiban, ukhuwah memiliki keutamaan yang cukup banyak, diantaranya
adalah:
1.
Wajah
orang yang berukhuwah akan bersinar.
Dalam
sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ
عُمَرِ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ
لأُنَاسًا مَا هُمْ بِأَنْبِيَاءَ وَلاَ
شُهَدَاءَ يَغْبِطُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ
وَالشُّهَدَاءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
بِمَكَانِهِمْ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى
قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ تُخْبِرُنَا
مَنْ هُمْ قَالَ هُمْ قَوْمٌ تَحَابُّوا
بِرُوحِ اللَّهِ عَلَى غَيْرِ أَرْحَامٍ
بَيْنَهُمْ وَلاَ أَمْوَالٍ يَتَعَاطَوْنَهَا
فَوَاللَّهِ إِنَّ وُجُوهَهُمْ لَنُورٌ
وَإِنَّهُمْ عَلَى نُورٍ لاَ يَخَافُونَ
إِذَا خَافَ النَّاسُ وَلاَ يَحْزَنُونَ
إِذَا حَزِنَ النَّاسُ وَقَرَأَ هَذِهِ
الآيَةَ (أَلاَ
إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لاَ خَوْفٌ
عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ)
(رواه
أبو داود)
Dari Umar
bin Khatab ra, Rasulullah SAW mengatakan kepadaku, ‘sesungguhnya
diantara hamba-hamba Allah terdapat sekelompok orang yang mereka ini
bukan para nabi dan bukan pula orang yang mati syahid, namun posisi
mereka di sisi Allah membuat para nabi dan orang yang mati syahid
menjadi iri. Para sahabat bertanya, beritahukan kepada kami, siapakah
mereka itu ya Rasulullah ? Beliau menjawab, ‘mereka adalah
sekelompok orang yang saling mencintai karena Allah SWT, meskipun
diantara mereka tiada ikatan persaudaraan dan tiada pula kepentingan
materi yang memotivasi mereka. Demi Allah, wajah mereka bercahaya,
dan mereka berada di atas cahaya. Mereka tidak takut manakala manusia
takut, dan mereka tidak bersedih hati manakala manusia bersdih hati.’
Lalu Rasulullah SAW membacakan ayat ‘Sesungguhnya wali-wali Allah
itu, mereka tidak takut dan tidak pula bersedih hati.” (HR. Abu
Daud)
2.
Tidak
takut dan tidak bersedih hati.
(sebagaimana
di gambarkan dalam hadits di atas)
3.
Akan
diampuni dosa-dosanya.
Rasulullah
SAW bersabda:
عَنْ
سَلْمَانِ الْفَارِسِيّ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
إِنَّ
الْمُسْلَِ إِذَا لَقِيَ أَخَاهُ
الْمُسْلِمَ فَأَخَذَ بِيَدِهِ تَحَاتَتْ
عَنْهُمَا ذُنُوْبُهُمَا كَمَا تَتَحَاتَّ
الْوَرَقَةُ عَنِ الشَّجَرَةِ اْليَابِسَةِ
فِيْ يَوْمٍ رِيْحٍ عَاصِفٍ، وَإِلاَّ
غُفِرَ لَهُمَا ذُنُوْبُهُمَا وَلَوْ
كَانَ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ (رواه
الطبراني في المعجم الكبير والبيهقي في
شعب الإيمان )
Dari
Salman al-Farisi ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya seorang
muslim, apabila ia bertemu dengan saudaranya muslim yang lainnya,
kemudian ia menjabat tangannya, maka akan berguguranlah dosa keduanya
sebagaimana bergugurannya dedaunan dari sebuah pohon yang telah
kering di hari angin bertiup sangat kencang. Atau kalau tidak, dosa
keduanya akan diampuni, meskipun sebanyak buih di lautan. (HR. Imam
Tabrani dalam Al-Mu’jam al-Kabir VI/ 256, dan Imam Baihaqi dalam
syu’ab al-Iman VI/ 437)
4.
Mendapatkan
‘naungan’ Allah, di hari tiada naungan selain naungan-Nya.
Rasulullah
SAW bersabda:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
أَيْنَ الْمُتَحَابُّونَ بِجَلاَلِي
الْيَوْمَ أُظِلُّهُمْ
فِي
ظِلِّي يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلِّي
(رواه
مسلم)
Dari Abu
Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, bahwa Allah berfirman pada hari
kiamat. ‘Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena
keagungan-Ku.? Pada hari ini Aku akan menaungi mereka di hari tiada
naungan selain naungan-Ku. (HR. Muslim)
5.
Mendapatkan
cinta Allah.
Rasulullah
SAW bersabda:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَجُلاً
زَارَ أَخًا لَهُ فِي قَرْيَةٍ أُخْرَى
فَأَرْصَدَ اللَّهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ
مَلَكًا فَلَمَّا أَتَى عَلَيْهِ قَالَ
أَيْنَ تُرِيدُ قَالَ أُرِيدُ أَخًا لِي
فِي هَذِهِ الْقَرْيَةِ قَالَ هَلْ لَكَ
عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا قَالَ
لاَ غَيْرَ أَنِّي أَحْبَبْتُهُ فِي
اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ فَإِنِّي
رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكَ بِأَنَّ اللَّهَ
قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ
فِيهِ (رواه
مسلم)
Dari Abu
Hurairah ra, bahwa seorang pemuda mengunjungi saudaranya di kota
lain. Di tengah perjalanannya, Allah mengutuskan padanya seorang
malaikat (yang menyamar). Ketika malaikat tiba padanya, berkata,
‘Wahai pemuda, engkau hendak kemana?’ Ia menjawab, ‘aku ingin
bersilaturahim ke tempat saudaraku di kota ini.’ Malaikat bertanya
lagi, ‘Apakah maksud kedatanganmu ada kepentingan duniawi yang
ingin kau cari?’ Ia menjawab, ‘Tidak, selain hanya karena aku
mencintainya karena Allah SWT.’ Kemudian malaikat berkata,
‘sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, diperintahkan untuk
menyampaikan kepadamu bahwa Allah telah mencintaimu, sebagaimana kamu
mencintai saudaramu tersebut. (HR. Muslim)
6.
Dapat
merasakan manisnya iman.
Dalam
sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلاَثٌ مَنْ
كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ
أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ
إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ
يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ
لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ
فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ
يُقْذَفَ فِي النَّارِ (رواه
البخاري)
Dari Anas
bin Malik ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘ada tiga hal, yang apabila
ketiganya terdapat dalam diri seseorang, maka ia akan dapat merasakan
manisnnya iman. (1) Lebih mencintai Allah dan rasul-Nya dari pada
apapun selain keduanya. (2) Mencintai seseorang semata-mata hanya
karena Allah SWT. (3) Tidak menyukai kembali pada kekafiran,
sebagaimana ia benci jika dilemparkan ke dalam api neraka. (HR.
Bukhari)
Syarat
Dalam Berukhuwah
Untuk
melaksanakan kewajiban dalam berukhuwah dan juga untuk dapat
menggapai seluruh keutamaan yang terkandung dalam ukhuwah, seroang
muslim harus dapat merealisasikan syarat-syarat dalam berukhuwah.
Diantara syarat-syaratnya adalah:
1.
Ikhlas.
Ukhuwah
seorang muslim terhadap muslim lainnya, haruslah dilandasi dengan
keikhlasan kepada Allah SWT. Ukuhwah yang terlahir bukan karena
sesuatu yang bersifat keduniaan, atau karena termotivasi oleh
kepentingan tertentu. Karena apabila ukhuwah telah tercampur dengan
ketidak ikhlasan, maka sudah menjadi hak Allah apabila tidak menerima
ukhuwah yang seperti itu. Kisah yang terdapat dalam hadits, yang
menceritakan seorang pemuda yang ingin mengunjungi ‘saudara
seimannya’ (lihat hadits keutamaan ukhuwah no. 5 dalam makalah ini)
menunjukkan bahwa ukhuwah itu harus ikhlas semata-mata cintanya hanya
karena Allah. Dan ukhuwah seperti inilah yang akan membuahkan
mendapatkan cinta dari Allah SWT.
2.
Dilandasi
dengan iman dan ketaqwaan.
Karena
hanya iman dan ketaqwaan sajalah, yang mampu menjadikan ukhuwah tetap
bersih, sebagaimana yang diinginkan oleh Islam. Allah menggambarkan
dalam Al-Qur’an (QS. 43 : 67):
الأَخِلاَّءُ
يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ
إِلاَّ الْمُتَّقِينَ*
“Teman-teman
akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain
kecuali
orang-orang yang bertakwa.”
3.
Komitmen
dengan adab Islam.
Ukhuwah
tidak akan pernah terajut, apabila kedua orang yang saling berukhuwah
tidak mengimplementasikan adab dan perilaku islami. Dan hal seperti
inilah, yang maknanya terkandung dalam salah satu sabda Rasulullah
SAW :
…وَرَجُلاَنِ
تَحَابَّا فِيْ اللهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ
وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ …
…dan
dua orang pemuda, yang saling mencintai karena Allah. Mereka bertemu
karena Allah dan merekapun berpisah karena Allah SWT… (HR. Muslim)
4.
Berlandaskan
pada prinsip saling menasehati kerena Allah.
Dalam
sebuah hadits, Rasulullah SAW mengatakan bahwa:
عَنْ
أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
المُؤْمِنُ
مِرْآةَ أَخِيْهِ إِذَا رَأَى فِيْهَا
عَيْبًا أَصْلَحَهُ
(رواه
البخاري في الأدب المفرد)
Dari Abu
Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Seorang mu’min merupakan
cermin bagi mu’min lainnya, yang apabila ia melihat pada aib pada
diri saudaranya, ia memperbaikinya. (HR. Bukhari dalam Al-Adab
Al-Mufrad)
5.
Saling
tolong menolong dalam kesenangan dan kesusahan.
Hal ini
digambarkan Allah dalam Al-Qur’an (QS. 5 : 2)
وَتَعَاوَنُوا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ
تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ
الْعِقَابِ *
“Dan
tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan janganlah
kalian saling tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.”
Tolong
menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan merupakan perintah Allah SWT,
baik dalam kondisi suka maupun duka. Bahkan dalam sebuah hadits,
Rasulullah SAW mengungkapkan :
عَنْ
النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي
تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ
وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا
اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ
سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
(رواه
مسلم)
Dari
Nu’man bin Basyir ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Perumpamaan
orang-orang mu’min dalam hal kecintaan dan kasih sayang diantara
mereka adalah laksana satu tubuh, yang apabila terdapat salah satu
anggota tubuhnya yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan merasakan
sakit, dengan tidak dapat tidur dan demam.’ (HR. Muslim)
Cara
untuk mempererat tali ukhuwah
Terdapat
beberapa cara untuk dapat menumbuhkan serta mempererat jalinan tali
ukhuwah yang terajut diantara kaum muslimin. Diantara caranya adalah:
1.
Memberitahukan
rasa ‘cinta’nya kepada saudaranya.
Hal ini
sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW:
عَنْ
الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ وَقَدْ
كَانَ أَدْرَكَهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا
أَحَبَّ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَلْيُخْبِرْهُ
أَنَّهُ يُحِبُّهُ (رواه
أبو داود)
Dari
Al-Miqdam bin Ma’di Karib, Rasulullah SAW bersabda, ‘Apabila
seorang mu’min mencintai saudaranya sesama mu’min, maka
beritahukanlah bahwa ia mencintainya (karena Allah SWT) (HR. Abu
Daud)
Dalam
riwayat lain, dikisahkan :
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَجُلاً كَانَ
عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَرَّ بِهِ رَجُلٌ
فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي
لأُحِبُّ هَذَا فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَعْلَمْتَهُ قَالَ لاَ قَالَ أَعْلِمْهُ
قَالَ فَلَحِقَهُ فَقَالَ إِنِّي أُحِبُّكَ
فِي اللَّهِ فَقَالَ أَحَبَّكَ الَّذِي
أَحْبَبْتَنِي لَهُ (رواه
أبو داود)
Dari Anas
bin Malik ra, bahwa seorang pemuda ada di samping Rasulullah SAW,
kemudian tidak lama kemudian, lewatlah seseorang melalui mereka.
Kemudian pemuda ini mengatakan, ‘Ya Rasulullah, sungguh aku
mencintai orang itu (karena Allah).’ Kemudian Rasulullah SAW
bertanya, ‘sudahkah engkau memberitahukan padanya?’ Ia
menjawab, ‘belum.’ Rasulullah SAW mengatakan, kalau demikian
beritahukalah padanya.’ Lalu pemuda ini mengikuti orang tersebut
dan mengatakan padanya, ‘aku mencintaimu karena Allah.’ Orang
tersebut menjawab, ‘Semoga Allah mencintaimu seperti engkau
mencintaiku karena-Nya.’ (HR. Abu Daud)
2.
Mendoakan
saudaranya
Dalam
sebuah riwayat dikisahkan:
عَنْ
عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
اسْتَأْذَنْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْعُمْرَةِ
فَأَذِنَ لِي وَقَالَ لاَ تَنْسَنَا يَا
أُخَيَّ مِنْ دُعَائِكَ فَقَالَ كَلِمَةً
مَا يَسُرُّنِي أَنَّ لِي بِهَا الدُّنْيَا
(رواه
أبو داود)
Dari Umar
bin Khattab ra, aku meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk pergi
umrah. Kemudian Rasulullah SAW mengizinka aku dan berkata, ‘jangan
lupa wahai saudaraku doanya. Beliau mengucapkan sebuah kalimat yang
teramat membahagiakan, seakan aku memiliki dunia. (HR. Abu Daud)
3.
Memberikan
senyuman.
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الصَّامِتِ عَنْ
أَبِي ذَرٍّ قَالَ قَالَ لِيَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ
تَحْقِرَنَّ مِنْ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا
وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ
طَلْقٍ (رواه
مسلم)
Dari Abu
Dzar ra, Rasulullah SAW mengatakan kepadaku, ‘janganlah kalian
menganggap remeh satu perbuatan baik sedikitpun, meskipun hanya
memberikan senyuman (wajah yang ramah) kepada kepada saudaramu. (HR.
Muslim)
4.
Menjabat
tangan.
Dalam
sebuah hadits Rasulullah SAW mengatakan:
عَنْ
سَلْمَانِ الْفَارِسِيّ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
إِنَّ
الْمُسْلِمَ إِذَا لَقِيَ أَخَاهُ
الْمُسْلِمَ فَأَخَذَ بِيَدِهِ تَحَاتَتْ
عَنْهُمَا ذُنُوْبُهُمَا كَمَا تَتَحَاتَّ
الْوَرَقَةُ عَنِ الشَّجَرَةِ اْليَابِسَةِ
فِيْ يَوْمٍ رِيْحٍ عَاصِفٍ، وَإِلاَّ
غُفِرَ لَهُمَا ذُنُوْبُهُمَا وَلَوْ
كَانَ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ (رواه
الطبراني في المعجم الكبير والبيهقي في
شعب الإيمان )
Dari
Salman al-Farisi ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya seorang
muslim, apabila ia bertemu dengan saudaranya muslim yang lainnya,
kemudian ia menjabat tangannya, maka akan berguguranlah dosa keduanya
sebagaimana bergugurannya dedaunan dari sebuah pohon yang telah
kering di hari angin bertiup sangat kencang. Atau kalau tidak, dosa
keduanya akan diampuni, meskipun sebanyak buih di lautan. (HR. Imam
Tabrani dalam Al-Mu’jam al-Kabir VI/ 256, dan Imam Baihaqi dalam
syu’ab al-Iman VI/ 437)
5.
Bersilaturahim.
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ قَالَ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ وَجَبَتْ مَحَبَّتِي
لِلْمُتَحَابِّينَ فِيَّ وَالْمُتَجَالِسِينَ
فِيَّ وَالْمُتَزَاوِرِينَ فِيَّ
وَالْمُتَبَاذِلِينَ فِيَّ (رواه
أحمد)
Rasulullah
SAW bersabda, bahwa Allah berfirman, ‘Cinta-Ku wajib diberikan
kepada orang yang saling mencintai karena-Ku, kepada yang saling
duduk karena-Ku, kepada yang saling mengunjungi (bersilaturahim)
karena-Ku, dan yang saling berlomba untuk berkorban karena-Ku.”
(HR. Ahmad bin Hambal)
6.
Mengucapkan
selamat pada moment tertentu.
عَنْ
أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَنْ لَقِيَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ بَمَا
يُحِبُّ لِيَسَّرَهُ بِذَلِكَ سَرَّهُ
اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه
الطبراني في المعجم الصغير)
Dari Anas
bin Malik ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa yang bertemu
dengan saudaranya yang muslim dengan sesuatu yang menyenangkannya
untuk membahagiakannya, maka sungguh Allah akan membahagiakannya pada
hari kiamat. (HR. Tabrani dalam Mu’jam Shaghir, II/288)
7.
Memberikan
hadiah.
Dalam
sebuah hadits, Rasulullah SAW mengemukakan:
عَنْ
أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
تَهَادُوْا تَحَابَّوْا
Saling
mencintai dan saling memberi hadiahlah kalian (HR. Baihaqi &
Tabrani)
8.
Memberikan
perhatian penuh pada kebutuhan saudaranya.
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً
مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ
عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ
الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى
مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي
الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ
مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا
وَاْلآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ
الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ
أَخِيهِ (رواه
مسلم)
Dari Abu
Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa yang
melapangkan kesempitan dunia seorang mu’min, maka Alla akan
melapangkan baginya kesempitan pada hari kiamat. Dan barang siapa
yang mempermudah kesulitan seseorang, maka Allah akan mempermudahnya
dalam kehidupan dunia dan akhirat. Barang siapa yang menutupi sela
seorang muslim, maka Allah akan menutupi celanya di dunia dan di
akhirat. Dan Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selagi
hamba-Nya tersebut menolong saudaranya.
(HR.
Muslim)
9.
Melaksanakan
semua hak-hak ukhuwah.
Terdapat
beberapa hal, yang menjadi hak seorang muslim dengan muslim lainnya
dalam berukhuwah yang harus ditunaikan oleh setiap muslim. Hak-hak
tersebut akan dibahas dalam pembahasan berikut:
Hak-Hak
Dalam Berukhuwah
Dalam
ukhuwah terdapat hak-hak yang mesti dilaksanakan oleh sesama muslim
yang saling bersaudara karena Allah SWT. Diantara hak-hak tersebut
adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah
haditsnya:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ
سِتٌّ قِيلَ مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ
قَالَ إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ
وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ وَإِذَا
اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ وَإِذَا
عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَسَمِّتْهُ
وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ وَإِذَا مَاتَ
فَاتَّبِعْهُ (رواه
مسلم)
Dari Abu
Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Hak seorang muslim dengan
muslim lainnya ada eman. Para sahabat bertanya, ‘Apa itu wahai
Rasulullah SAW? Beliau menjwab, ‘apabila engkau bertemu dengannya
ucapkanlah salam, apabila ia mengundangmu penuhilah, apabila ia minta
nasehat darimu nasehatilah, apabila ia bersin doakanlah, apabila ia
sakit tengoklah, dan apabila ia meninggal dunia maka ikutilah
jenazahnya.” (HR. Muslim)
Dari
hadits di atas, dapat kita petik kesimpulan, bahwa diantara hak
ukhuwah seorang muslim terhadap muslim lainnya adalah:
1.
Mengucapkan
salam.
2.
Memenuhi
undangannya.
3.
Memberikan
nasehat.
4.
Mendoakan
ketika bersin.
5.
Menengok
ketika sakit.
6.
Mengikuti
jenazahnya ketika meninggal dunia.
Selain
keenam hak ini, juga masih terdapat hak lainnya, yaitu sebagaimana
yang terdapat dalam sebuah hadits:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً
مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ
عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ
الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى
مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي
الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ
مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا
وَاْلآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ
الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ
أَخِيهِ (رواه
مسلم)
Dari Abu
Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa yang
melapangkan kesempitan dunia seorang mu’min, maka Alla akan
melapangkan baginya kesempitan pada hari kiamat. Dan barang siapa
yang mempermudah kesulitan seseorang, maka Allah akan mempermudahnya
dalam kehidupan dunia dan akhirat. Barang siapa yang menutupi sela
seorang muslim, maka Allah akan menutupi celanya di dunia dan di
akhirat. Dan Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selagi
hamba-Nya tersebut menolong saudaranya. (HR. Muslim)
Dari
hadits ini dapat di ambil beberapa poin penting, bahwa hak seorang
muslim terhadap muslim lainnya adalah :
7.
Memperhatikan
dan peduli terhadap kebutuhan dan kesusahannya.
8.
Menutupi
aib atau kekurangan yang dimilikinya.
Buah
Lain Dari Ukhuwah
Selain
berbagai keistimewaan yang telah digambarkan di atas, ukhuwah memilki
nilai positif lain yang sangat luas, yaitu akan dapat mewujudkan
al-wihdah
al-islamiyah
(baca; persatuan umat). Karena dengan adanya ukhuwah, setiap muslim
tidak akan memandang seseorang dari sukunya, bahasanya, negaranya,
warna kulitnya, warna rambutnya, organisasinya, partainya dan lain
sebagainya. Namun ia akan melihat seseorang dari segi aqidahnya.
Siapapun ia, jika ia mentauhidkan Allah, beragamakan Islam,
bermanhajkan Al-Qur’an, berkiblatkan ka’bah, bersunahkan sunah
Rasulullah SAW, maka ia adalah saudaranya. Sehingga ia akan memandang
bahwa di setiap daerah, setiap wilayah atau bahkan di negara manapun
yang di sana terdapat orang-orang yang memperjuangkan kalimatullah,
maka itu adalah negrinya. Dan setiap muslim memiliki kewajiban untuk
senantiasa menolong saudaranya di jalan Allah SWT. Atau paling tidak,
harus memiliki kepedulian terhadap kebutuhan dan kesusahan yang
dialami saudaranya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ
حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
مَنْ
لاَ يَهْتَمْ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ
فَلَيْسَ مِنْهُمْ (رواه
الطبراني)
Dari
Hudzaifah bin Yaman ra, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang
tidak peduli terhadap urusan kaum muslimin, maka bukanlah ia termasuk
golongan mereka (kaum muslimin).” (HR. Tabrani)
Adapun
pada zaman sekarang ini, berangkat dari ketiadaan ukhuwah, maka
seolah tiada pula persatuan dan kesatuan di kalangan umat Islam.
Hampir setiap organisasi, kelompok, partai berpecah belah satu dengan
yang lainnya. Ini masih dalam satu negara, maka apatah lagi jika
sudah berbeda negara, berbeda warna kulit dan lain sebagainya.
Kondisi seperti ini diperparah lagi dengan adanya konspirasi kaum
barat yang berusaha untuk memecah belah kaum muslimin. Sehingga saat
ini dapat dikatakan tidak ada satu negara muslim pun yang secara
politiknya mencoba untuk merealisasikan ukhuwah dalam politik luar
negrinya terhadap negara muslim lainnya. Padahal ukhuwah merupakan
bagian terpenting dari keimanan. Karena tiada kesempurnaan iman tanpa
adanya ukhuwah.
Penutup
Inilah
sekelumit bahasan tentang ukhuwah, yang tentunya kita semua harus
berusaha untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam
skala individu, sosial, nasional, bahkan internasional. Karena kita
akan lemah tanpa adanya ukhuwah, sebaliknya kita akan dapat kuat dan
besar dengan merealisasikan ukhuwah dalam jiwa kita. Sementara,
ukhuwah merupakan buah dan konsekwensi logis dari keimanan kepada
Allah SWT. Dalam artian, bahwa ukhuwah mustahil direalisasikan tanpa
memperdalam dan memperkokoh keimanan.
Jadi,
jalan yang harus ditempuh oleh setiap muslim adalah memperkokoh
keimanan dan mempertebal ketakwaan kepada Allah SWT. Karena hal
tersebut merupakan ‘pondasi’ dari ukhuwah, untuk kemudian mencoba
mengamalkan kiat-kiat Rasulullah SAW dalam mempertebal rasa ukhuwah
dalam diri kita masing-masing. Dan akhirnya, semoga Allah SWT
menjadikan kita sebagai orang-orang yang senantiasa dikuatkan
keimanannya, dipererat ukhuwahnya dan dijadikan sebagai hamba-hamba
yang berhak mendapatkan sorga dari-Nya. Amin..
Wallahu
A’lam Bis Shawab.
By.
Rikza Maulan, Lc., M.Ag.
Bahan
Bacaan
Hamid,
Muhammad Abdul Halim. Sifat
wa Sulukiyat Tarbawiyah.
1998 – 1419 H. Kairo – Mesir : Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr
al-islamiyah.
Jarror,
Husni Adham. Bercinta
dan Bersaudara Karena Allah.
1993 – 1413 H. Cet. VIII. Jakarta – Indonesia : Gema Insani
Press.
Ulwan,
Abdullah Nasih. Al-Ukhuwah
Al-Islamiyah.
1997 – 1417 H. Cet. VI. Kairo – Mesir : Dar Al-Salam li
al-Thaba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’.
Al-Wakil,
Abdul Wahid. Buyutuna
fi Ramadhan.
1997. Kairo – Mesir : Dar al-Tauzi wa al-Nasyr al-Islamiyah.
CD. ROM.
Maushu’ah
al-Hadits al-Syarif.
Versi 2.00 : Syirkah al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah (Global
Islamic Software Company)
CD. ROM.
Al-Qur’an
Al-Karim.
Versi 6.50 : Syirkah Sakhr Li Baramij al-Hasib (1991 – 1997).
بسم الله الرحمن
الرحيم
AKHLAQ ISLAMI
الأخلاق
الإسلامية
Muqadimah
Ketika
Islam belum datang sebagai sebuah pedoman hidup bagi umat manusia,
bangsa Arab sangat dikenal dengan kejahiliyannya. Kejahiliyahan
tersebut akan sangat terasa benar, manakala kita mencoba melihatnya
dari sisi moralitas (baca; akhlak). Keburukan apakah yang dapat
menandingi dengan moral seorang ayah, yang dengan tega dan rasa
jijik, mengubur hidup-hidup anaknya sendiri. Kejelekan apa yang
melebihi dari pada terjadinya perzinaan pada seorang istri, atas
perintah sang suaminya sendiri? Namun ternyata hal tersebut dianggap
merupakan sesuatu yang sangat wajar pada zamannya.
Di
sinilah, Islam datang merubah kondisi yang sangat bejat, menjadi
berputar ke arah yang posistif seratus delapan puluh derajat. Karena
sesungguhnya Islam datang, memang membawa misi untuk merubah kondisi
jahiliyah yang ada, menjadi kondisi Islami. Adapun moralitas, adalah
merupakan implementasi dari kondisi mental seseorang atau masyarakat
pada suatu waktu tertentu. Baik buruknya moral seseorang, atau moral
suatu bangsa, sangat terkait dengan mental orang atau bangsa
tersebut. Mengenai misi ini, Rasulullah SAW pernah mengatakan:
عَنْ
أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا
بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ
اْلأَخْلاَقِ
(رواه
أحمد والبزار)
Dari Abu
Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda: “Bahwasanya aku diutus adalah
untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak. (HR. Ahmad dan al-Bazar).
Sebagai
seorang muslim, kitapun memiliki kewajiban untuk senantiasa
meningkatkan dan memperbaiki kualitas moral yang terdapat dalam diri
kita. Dan dalam Islam, akhlak memiliki dimensi yang luas dan
universal. Mencakup akhlak terhadap apapun dan siapapun yang ada di
sekitar kita. Termasuk akhlak terhadap lingkungan, terhadap alam,
terhadap hewan, dan lain sebagainya. Namun dalam pembahasan akhlak
kita, akan terfokus pada hal-hal yang sangat urgen. Diantaranya
adalah; akhlak terhadap Allah SWT, akhlak seorang muslim terhadap
dirinya sendiri, akhlak terhadap orang tuanya, akhlak terhadap
keluarga & kerabat, akhlak terhadap saudara seiman, dan akhlak
terhadap tetangga & masyarakatnya.
Akhlak
Seorang Muslim Terhadap Allah SWT
Setiap
muslim meyakini, bahwa Allah adalah sumber segala sumber dalam
kehidupannya. Allah adalah Pencipta dirinya, pencipta jagad raya
dengan segala isinya, Allah adalah pengatur alam semesta yang
demikian luasnya. Allah adalah pemberi hidayah dan pedoman hidup
dalam kehidupan manusia, dan lain sebagainya. Sehingga manakala hal
seperti ini mengakar dalam diri setiap muslim, maka akan
terimplementasikan dalam realita bahwa Allah lah yang pertama kali
harus dijadikan prioritas dalam berakhlak.
Jika
kita perhatikan, akhlak terhadap Allah ini merupakan pondasi atau
dasar dalam berakhlak terhadap siapapun yang ada di muka bumi ini.
Jika seseorang tidak memiliki akhlak positif terhadap Allah, maka ia
tidak akan mungkin memiliki akhlak positif terhadap siapapun.
Demikian pula sebaliknya, jika ia memiliki akhlak yang karimah
terhadap Allah, maka ini merupakan pintu gerbang untuk menuju
kesempurnaan akhlak terhadap orang lain. Diantara akhlak terhadap
Allah SWT adalah:
1.
Taat
terhadap perintah-perintah-Nya.
Hal pertama yang harus
dilakukan seorang muslim dalam beretika kepada Allah SWT, adalah
dengan mentaati segala perintah-perintah-Nya. Sebab bagaimana mungkin
ia tidak mentaati-Nya, padahal Allah lah yang telah memberikan
segala-galanya pada dirinya. Allah berfirman (QS. 4 : 65):
فَلاَ
وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ حَتَّى
يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
ثُمَّ لا َيَجِدُوْا فيِ أَنْفُسِهِمْ
حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا
تَسْلِيْمًا*
“Maka
demi Rab-mu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
kemdian mrekea tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap
ptutusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
Karena taat kepada
Allah merupakan konsekwensi keimanan seoran muslim kepada Allah SWT.
Tanpa adanya ketaatan, maka ini merupakan salah satu indikasi tidak
adanya keimanan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW juga menguatkan
makna ayat di atas:
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ :
لاَ
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ
هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ (رواه
ابن أبي عاصم الشيباني في السنة)
“Rasulullah
SAW bersabda, “Tidak beriman salah seorang diantara kalian, hingga
hawa nafsunya (keinginannya) mengikuti apa yang telah datang dariku
(Al-Qur’an dan sunnah). (HR. Abi Ashim al-syaibani).
2.
Memiliki
rasa tanggung jawab atas amanah yang diembankan padanya.
Etika kedua yang harus
dilakukan seorang muslim kepada Allah SWT, adalah memiliki rasa
tanggung jawab atas amanah yang diberikan padanya. Karena pada
hakekatnya, kehidupan inipun merupakan amanah dari Allah SWT. Oleh
karenanya, seorang mukmin senantiasa meyakini, apapun yang Allah
berikan padanya, maka itu merupakan amanah yang kelak akan dimintai
pertanggung jawaban dari Allah. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW
pernah bersabda:
عَنْ
بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ
قَالَ أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ
مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَاْلأَمِيْرُ
الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ
مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ
رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ
مَسْئُوْلٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ
رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا
وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْهُمْ
وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ
وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُ أَلاَ فَكُلُّكُمْ
رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ (رواه
مسلم)
Dari ibnu
Umar ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Setiap kalian adalah pemimpin,
dan setiap kalian bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya.
Seorang amir (presiden/ imam/ ketua) atas manusia, merupakan
pemimpin, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang
suami merupakan pemimpin bagi keluarganya, dan ia bertanggung jawab
atas apa yang dipimpinnya. Seorang wanita juga merupakan pemimpin
atas rumah keluarganya dan juga anak-anaknya, dan ia bertanggung
jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang hamba adalah pemimpin atas
harta tuannya, dan ia bertanggung jawab terhadap apa yang
dipimpinnya. Dan setiap kalian adalah pemimpin, dan bertanggung jawab
atas apa yang dipimpinnya. (HR. Muslim)
3.
Ridha
terhadap ketentuan Allah SWT.
Etika berikutnya yang
harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah SWT, adalah ridha
terhadap segala ketentuan yang telah Allah berikan pada dirinya.
Seperti ketika ia dilahirkan baik oleh keluarga yang berada maupun
oleh keluarga yang tidak mampu, bentuk fisik yang Allah berikan
padanya, atau hal-hal lainnya. Karena pada hakekatnya, sikap seorang
muslim senantiasa yakin (baca; tsiqah) terhadap apapun yang Allah
berikan pada dirinya. Baik yang berupa kebaikan, atau berupa
keburukan. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ :
عَجَبًا
لِأَمْرِ الْمُسْلِمِ، إِنَّ أَمْرَهُ
كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ، إِنْ أَصَابَتْهُ
سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ،
وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ
فَكَانَ خَيْرًا لَهُ (رواه
البخاري)
Rasulullah
SAW bersabda, sungguh mempesona perkara orang beriman. Karena segala
urusannya adalah dipandang baik bagi dirinya. Jika ia mendapatkan
kebaikan, ia bersyukur, karena ia tahu bahwa hal tersebut merupakan
hal terbaik bagi dirinya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar,
karena ia tahu bahwa hal tersebut merupakan hal erbaik bagi dirinya.
(HR. Bukhari)
Apalagi terkadang
sebagai seorang manusia, pengetahuan atau pandangan kita terhadap
sesuatu sangat terbatas. Sehingga bisa jadi, sesuatu yang kita anggap
baik justru buruk, sementara sesuatu yang dipandang buruk ternyata
malah memiliki kebaikan bagi diri kita.
4.
Senantiasa
bertaubat kepada-Nya.
Sebagai seorang
manusia biasa, kita juga tidak akan pernah luput dari sifat lalai dan
lupa. Karena hal ini memang merupakan tabiat manusia. Oleh karena
itulah, etika kita kepada Allah, manakala sedang terjerumus dalam
‘kelupaan’ sehingga berbuat kemaksiatan kepada-Nya adalah dengan
segera bertaubat kepada Allah SWT. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman
(QS. 3 : 135) :
وَالَّذِيْنَ
إِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوْا
أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوْا اللهَ
فَاسْتَغْفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْ،
وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ
اللهُ وَلَمْ يُصِرُّ وْاعَلَى مَا
فَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْنً*
أُوْلَئِكَ
جَزَاءُهُمْ مَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ
وَجَنَّاتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا
اْلأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا
وَنِعْمَ أَجْرُ اْلعَامِلِيْنَ*
Dan juga
orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya
diri mereka sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun
terhadap dosa-dosa mereka. Dan siapakah yang dapat mengampuni dosa
selain Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu
sedang mereka mengetahui.
5.
Obsesinya
adalah keridhaan ilahi.
Seseorang yang
benar-benar beriman kepada Allah SWT, akan memiliki obsesi dan
orientasi dalam segala aktivitasnya, hanya kepada Allah SWT. Dia
tidak beramal dan beraktivitas untuk mencari keridhaan atau pujian
atau apapun dari manusia. Bahkan terkadang, untuk mencapai keridhaan
Allah tersebut, ‘terpakasa’ harus mendapatkan ‘ketidaksukaan’
dari para manusia lainnya. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW pernah
menggambarkan kepada kita:
قاَلَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ:
مَنْ
الْتَمَسَ رِضَاءَ اللهِ بِسَخَطِ
النَّاسِ كَفَاهُ اللهُ مَؤُوْنَةَ
النَّاسِ، وَمَنْ الْتَمَسَ رِضَاءَ
النَّاسِ بِسَخَطِ اللهِ وَكَلَهُ اللهُ
إِلَى النَّاسِ (رواه
الترمذي والقضاعي وابن عساكر)
Rasulullah
SAW bersabda, Barang siapa yang mencari keridhaan Allah dengan
‘adanya’ kemurkaan manusia, maka Allah akan memberikan keridhaan
manusia juga. Dan barang siapa yang mencari keridhaan manusia dengan
cara kemurkaan Allah, maka Allah akan mewakilkan kebencian-Nya pada
manusia. (HR. Tirmidzi, Al-Qadha’I dan ibnu Asakir).
Dan hal seperti ini
sekaligus merupakan bukti keimanan yang terdapat dalam dirinya.
Karena orang yang tidak memiliki kesungguhan iman, otientasi yang
dicarinya tentulah hanya keridhaan manusia. Ia tidak akan perduli,
apakah Allah menyukai tindakannya atau tidak. Yang penting ia dipuji
oleh oran lain.
6.
Merealisasikan
ibadah kepada-Nya.
Etika atau akhlak
berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah SWT
adalah merealisasikan segala ibadah kepada Allah SWT. Baik ibadah
yang bersifat mahdhah,
ataupun ibadah yang ghairu
mahdhah.
Karena pada hakekatnya, seluruh aktiivitas sehari-hari adalah ibadah
kepada Allah SWT. Dalam Al-Qur’an Allah berberfirman (QS. 51 : 56):
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ
لِيَعْبُدُوْنَ*
“Dan
tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku.”
Oleh karenanya, segala
aktivitas, gerak gerik, kehidupan sosial dan lain sebagainya
merupakan ibadah yang dilakukan seorang muslim terhadap Allah.
Sehingga ibadah tidak hanya yang memiliki skup mahdhah saja, seperti
shalat, puasa haji dan sebagainya. Perealisasian ibadah yang paling
penting untuk dilakukan pada saat ini adalah beraktivitas dalam
rangkaian tujuan untuk dapat menerakpak hukum Allah di muka bumi ini.
Sehingga Islam menjadi pedoman hidup yang direalisasikan oleh
masyarakat Islam pada khususnya dan juga oleh masyarakat dunia pada
umumnya.
7.
Bannyak
membaca al-Qur’an.
Etika dan akhlak
berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah adalah
dengan memperbanyak membaca dan mentadaburi ayat-ayat, yang merupakan
firman-firman-Nya. Seseeorang yang mencintai sesuatu, tentulah ia
akan banyak dan sering menyebutnya. Demikian juga dengan mukmin, yang
mencintai Allah SWT, tentulah ia akan selalu menyebut-nyebut Asma-Nya
dan juga senantiasa akan membaca firman-firman-Nya. Apalagi menakala
kita mengetahui keutamaan membaca Al-Qur’an yang dmikian besxarnya.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW mengatakan kepada kita:
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ :
اقْرَأُوْا
الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِيْ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ شَفِيْعًا لِأَصْحَابِهِ
(رواه
مسلم)
Rasulullah
SAW bersabda, ‘Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya Al-Qur’an
itu dapat memberikan syafaat di hari kiamat kepada para pembacanya.
(HR. Muslim)
Adapun bagi
mereka-mereka yang belum bisa atau belum lancar dalam membacanya,
maka hendaknya ia senantiasa mempelajarinya hingga dapat membacanya
dengan baik. Kalaupun seseorang harus terbata-bata dalam membaca
Al-Qur’an tersebut, maka Allah pun akan memberikan pahala dua kali
lipat bagi dirinya. Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda:
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ :
الَّذِيْ
يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَهُوَ مَاهِرٌ
بِهِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ
الْبَرَرَةِ، وَالَّذِيْ يَقْرَأُ
الْقُرْآنَ
وَيَتَتَعْتَعُ
فِيْهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ
أَجْرَانِ (متفق
عليه)
Rasulullah
SAW bersabda, Orang (mu’min) yang membaca Al-Qur’an dan ia lancar
dalam membacanya, maka ia akan bersama para malaikat yang mulia lagi
suci. Adapun orang mu’min yang membaca Al-Qur’an, sedang ia
terbata-bata dalam membacanya, lagi berat (dalam mengucapkan
huruf-hurufnya), ia akan mendapatkan pahala dua kali lipat.
(Mutafaqun Alaih)
Akhlak Seorang
Muslim Terhadap Dirinya Sendiri
Paling
tidak, seorang muslim adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Siapapun
dia, seorang muslim tentu akan dimintai pertanggung jawaban atas apa
yang telah diperbuat terhadap dirinya sendiri. Oleh karena itulah,
Islam memandang bahwa setiap muslim harus menunaikan etika dan akhlak
yang baik terhadap dirinya sendiri, sebelum ia berakhlak yang baik
terhadap orang lain. Dan ternyata hal ini sering dilalaikan oleh
kebanyakan kaum muslimin.
Secara
garis besar, akhlak seorang muslim terhadap dirinya dibagi menjadi
tiga bagian; terhadap fisiknya, terhadap akalnya dan terhadap
hatinya. Karena memang setiap insan memiliki tiga komponen tersebut,
dan kita dituntut untuk memberikan hak kita terhadap diri kita
sendiri dalam ketiga unsur yang terdapat dalam dirinya tersebut:
1.
Terhadap
Fisiknya
Setiap insan, Allah
berikan anugerah berupa fisik yang sempurna. Kesempurnaan fisik
manusia ini, Allah katakan sendiri dalam Al-Qur’an (QS. 95 : 4)
لَقَدْ
خَلَقْنَا اْلإِنْسَانَ فِيْ أَحْسَنِ
تَقْوِيْمٍ
Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Kesempurnaan fisik
ini, merupakan sesuatu yang harus disyukuri. Karena Allah hanya
memberikannya pada manusia. Adapun salah satu cara dalam
mensyukurinya adalah dengan menunaikan hak yang harus diberikan pada
fisik kita tersebut, yang sekaligus merefleksikan etika kita terhadap
fisik kita sendiri. Diantara hal tersebut adalah:
- Seimbang dalam mengkonsumsi makanan.
Hak yang harus kita
penuhi terhadap fisik kita adalah dengan memberikan makanan dan
minuman yang baik dan sehat, sehingga fisik kita pun dapat tumbuh dan
bekerja dengan baik dan sehat pula. Seorang muslim sangat menyadari
hal ini, dan oleh karenanya ia tidak akan menkonsumsi makanan yang
akan memberikan madharat terhadap dirinya tersebut. Dan termasuk
dalam kategori yang memberikan mudharat adalah mengkonsumsi makanan
secara berlebihan. Islam sendiri telah memberikan larangan kepada
para pemeluknya untuk berlebihan dalam menkonsumsi makanan. Allah
berfirman (QS. 7 : 31)
وَكُلُوْا
وَاشْرَبُوْا وَلاَ تُسْرِفُوْا إِنَّهُ
لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ
“Makan
dan minumlah kalian, dan janganlah kalian berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
Dalam sebuah hadits,
Rasulullah SAW bahkan memberikan rincian batasan dalam masalah
mengkonsumsi makanan. Beliau mengatakan:
مَا
مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ
بَطْنِهِ، فَإِذَا كَانَ لاَ مَحَالَةَ
فَاعِلاً، فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ، وَثُلُثٌ
لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفْسِهِ
(رواه
أحمد والترمذي)
Janganlah
seseorang itu mengisi perutnya sesuatu yang buruk baginya. Dan
apabila tidak menyulitkan baginya hendaknya ia mengisi sepertiga
untuk makanannya, sepertiga untuk minumannnya dan sepertiga lagi
untuk dirinya.
(HR.
Ahmad & Turmudzi)
- Membiasakan diri untuk berolah raga & hidup teratur.
Islam sangat
menginginkan terciptanya kondisi yang baik dan teratur bagi para
pemeluknya. Bekerja teratur, makan teratur, tidur teratur, belajar
teratur dan juga berolah raga secara teratur. Sebagai contoh
menyegerakan tidur dan juga menyegerakan bangun. Tidak tidur ba’da
subuh, tidak tidur ba’da ashar dan lain sebagainya.
Di samping itu, Islam
juga menganjurkan pada pemeluknya untuk menjaga fisik dengan
membiasakan diri berolah raga. Agar diri seorang mu’min menjadi
kuat dan sehat. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengatakan kepada
kita:
المُؤْمِنُ
الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ
مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ (رواه
مسلم)
Seorang
mu’min yang kuat, lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada
seorang mu’min yang lemah. (HR. Muslim)
Jika fisik kaum
muslimin kuat, tentulah hal ini akan dapat menggetarkan para
musuh-musuh Islam, yang tiada henti-hentinya membuat makar terhadap
agama Allah ini. Oleh karenanya kita melihat betapa Allah
memerintahkan kita untuk mempersiapkan kekuatan kita. Dan olah raga
merupakan salah satu cara untuk mempersiapkan kekuatan tersebut.
Allah berfirman (QS. 8 : 60)
وَأَعِدُوْا
لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ
وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُوْنَ
بِهِ عَدُوَّ اللهِ وَعَدُوَّكُمْ
وَآخَرِيْنَ مِنْ دُوْنِهِمْ لاَ
تَعْلَمُهُمْ اللهُ يَعْلَمُهُمْ
Dan
persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang, yang dapat
menggentarkan musuh Allah , musuhmu dan orang-orang selain mereka
yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya.
- Tidak melakukan hal-hal yang memberikan madharat bagi fisik dan kesehatannya.
Terkadang manusia
senang untuk melakukan hal-hal tertentu yang terlihat menyenangkan
dan mengenakkan meskipun hal tersebut akan menimbulkan madharat
terhadap dirinya sendiri. Diantara tersebut antara lain, berlebihan
dalam menkonsumsi kopi atau teh, tidur terlalu larut malam dan
merokok. Hal yang terakhir disebut (yaitu rokok) bahkan sudah seperti
menjadi “kebiasaan wajib” bagi orang tertentu. Sementara jika
dilihat dari aspek syar’inya, rokok merupakan sesuatu yang
melanggar syar’i dan hukumnya haram, kecuali menurut sebagian ulama
di Indonesia yang cenderung berfatwa bahwa hukumnya adalah makruh.
Hal ini bisa dimaklumi karena sebagaian besar ulama di Indonesia
masih belum mampu meninggalkan kebiasaan rokoknya.
Terdapat beberapa
tinjauan dalam menegaskan bahwa rokok secara hukum adalah haram.
Diantaranya adalah :
a.
Merokok
merusak kesehatan (Yadhurru
Linafsih)
Semua orang sepakat,
bahwa rokok akan memiliki dampak negatif terhadap fisik manusia.
Terlebih-lebih jika ditinjau dari segi ilmu kesehatan atau
kedokteran, rokok memiliki dampak yang begitu besar dalam diri insan
yang akan menyebabkan berbagai penyakit. Perokok sendiri akan
mengakui hal tersebut. Dan jika demikian, seseorang ketika ia merokok
berarti ia memberikan kemadharatan atau merusak bagi dirinya sendiri.
Sementara Allah SWT berfirman (QS. 4 : 29)
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَأْكُلُوا
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ
تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلاَ
تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu sendiri;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
b.
Merokok
mendzolimi orang lain (Dzalim)
Selain merusak atau
merugikan terhadap diri sendiri, rokok juga dapat merugikan atau
mendzalimi orang lain yang tidak merokok. Sebab asap rokok yang
dihisap perokok tentu akan dikeluarkan lagi. Dan asap inilah yang
memiliki potensi untuk dihisap secara langsung melalui nafas orang
lain (baca; perokok pasif) yang berada di sekitarnya, yang bisa jadi
akan menimbulkan penyakit-penyakit tertentu. Jika hal ini terjadi,
berarti perokok ‘mendzlimi’ orang lain yang tidak merokok. Dan
Allah sangat membenci orang-orang yang dzalim. Allah SWT berfirman
(QS. 42 : 40)
وَجَزَاءُ
سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ
عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى
اللَّهِ إِنَّهُ
لاَ يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
"Dan
balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka
barangsiapa mema`afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas
(tanggungan) Allah. Sesungguhnya
Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim."
c.
Merokok
memiliki unsur menghambur-hamburkan harta (Tabdzir)
Selain dua tinjauan di
atas, rokok juga mengandung unsur menghambur-hamburkan uang (baca’
tabdzir).
Hampir semua kalangan sepakat, bahwa rokok merupakan salah satu
bentuk perbuatan yang mubadzir,
karena banyak hal yang lebih bermanfaat dari pada digunakan untuk
rokok, seperti membantu fakir miskin, shadaqoh kepada kerabat, atau
digunakan untuk membeli makanan yang menambah kesehatan, seperti
susu, buah-buahan dan lain sebagainya. Dan jika merokok merupakan
salah satu perbuatan tabdzir,
maka alangkah kerasnya Allah SWT menegur orang-orang yang
menghambur-hamburkan uang. Allah berfirman (QS. 17 : 27 ) :
وَآتِ
ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ
وَابْنَ السَّبِيلِ وَلاَ تُبَذِّرْ
تَبْذِيرًا*
إِنَّ
الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ
الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ
لِرَبِّهِ كَفُورًا*
“Dan
berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada
orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu
adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”
- Bersih fisik dan pakaian.
Etika seorang muslim
terhadap dirinya yang berikutnya adalah membersihkan fisik dan juga
pakaiannya. Karena fisik kita memiliki hak untuk dibersihkan dan
memakai pakaian yang bersih. Dalam masalah bersih fisik, terdapat
beberapa hal yang perlu diperhatikan:
a)
Bersih
mulut dan gigi.
Islam sangat
menganjurkan kebersihan gigi dan mulut. Karena kedua hal ini
merupakan hal yang akan sangat berkaitan dengan orang lain. Ketika
gigi dan mulut kita tidak bersih bahkan bau, maka pasti akan memiliki
pengaruh negatif terhadap orang yang menjadi lawan bicaranya. Oleh
karena itulah, Rasulullah SAW mengatakan kepada kita:
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ :
لَوْ
لاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي
لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ
كُلِّ صَلاَةٍ (رواه
الشيخان)
“Sekiranya
tidak memberatkan bagi umatku, sungguh akan aku perintahkan mereka
untuk bersiwak setiap kali hendak shalat.” (HR. Bukhari Muslim).
Bahkan dalam hadits
lain, Rasulullah SAW menerangkan mengenai dampak negatif yang
ditimbulkan dari ketidak bersihan mulut dan gigi. Beliau mengatakan:
مَنْ
أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثَّوْمَ وَالْكَرَّاثَ
فَلاَ يَقْرِبَنَّ مَسْجِدَنَا هَذَا،
فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذَّي
مِمَّا يَتَأَذَّي مِنْهُ بَنُو آدَمَ
(رواه
مسلم)
Rasulullah
SAW bersabda, “Barang siapa yang memakan bawang merah, bawang putih
dan yang sebangsa bawang, maka hendaknya mereka jangan mendekati
masjid kami ini. Karena sesungguhnya para malaikat ‘terganggu’
dengan baunya tersebut, sebagaimana terganggunya anak cucu adam.”
(HR. Muslim)
b)
Bersih
rambut.
Selain mulut dan gigi,
Islam juga menganjurkan kita agar senantiasa membersihkan rambut.
Karena rambut juga memiliki hak untuk dibersihkan. Dalam sebuah
hadits Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ
أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
:
مَنْ
كَانَ لَهُ شَعْرٌ فَلْيُكْرِمْهُ (رواه
أبو داود)
Dari Abu
Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa yang memiliki
rambut, maka hendaklah ia memuliakan rambutnya tersebut.” (HR. Abu
Daud)
Adapun cara untuk
memuliakan rambut, diantaranya adalah dengan senantiasa
membersihkannya, menyisirnya yang rapi serta merawatnya. Dalam sebuah
riwayat Imam Malik, Rasulullah SAW suatu ketika sedang berada dalam
masjid. Kamudian tiba-tiba masuklah seorang pemuda yang rambut dan
jenggotnya acak-acakan. Kemudian Rasulullah SAW memerintahkannya
dengan isyarat agar ia membersihkan rambut dan jenggotnya tersebut.
Pemuda itupun kembali pulang, lalu kembali ke masjid dalam keadaan
rambut dan jenggotnya yang telah tersisir rapi. Melihat hal tersebut
Rasulullah SAW mengatakan, ‘bukankah yang demikian lebih baik, dari
pada seseorang datang ke masjid dalam kondisi rambut dan jenggotnya
acak-acakan, seperti syaitan?’
c)
Bersih
badan.
Hal ini terbukti
dengan diperintahkannya kita untuk senantiasa membersihkan diri kita
dengan mandi. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW berasbda:
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ :
اغْتَسِلُوْا
يَوْمَ الْجُمْعَةِ، وَاغْسِلُوْا
رُؤُوْسَكُمْ وَإِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا
جُنُبًا وَأَصِيْبُوْا مِنَ الطَّيِّبِ
(رواه
البخاري)
Rasulullah
SAW bersabda, ‘Mandilah kalian pada hari jum’at. Bersihkanlah
kepala kalian, meskipun tidak sedang junub. Dan sentuhlah dengan
wewangian. (HR. Bukhari)
d)
Bersih
pakaian.
Jasad atau fisik kita,
juga memiliki hak untuk mendapatkan pakaian yang bersih dan sehat.
Pakaian disamping untuk menutupi aurat, namun juga menjaga dirinya
dari penyakit-penyakit yang terkait dengan pakaian, seperti
gatal-gatal, jamur dan lain sebagainya.
عَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ أَتَانَا رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
زَائِرًا فَرَأَى رَجُلاً عَلَيْهِ
ثِيَابُ وَسْخَةٍ، فَقَالَ مَا كَانَ
يَجِدُ هَذَا مَا يَغْسِلُ ثَوْبَهُ؟
(رواه
أحمد والنسائى)
Dari
Jabir ra, beliau berkata, suatu ketika rasulullah SAW berziarah
mengunjungi kami. Lalu beliau melihat seseorang yang memakai pakaian
yang kotor. Beliau berkata, ‘Tidakkah ada yang dapat menyucikan
bajunya?’ (HR. Ahmad dan Nasa’I)
e)
Berpenampilan
rapi
Berpenampilan rapi
juga merupakan salah satu sunnah Rasulullah SAW. Sehingga seseorang
akan terlihat terhormat di mata orang lain. Dalam sebuah riwayat
dikisahkan ketika Rasulullah SAW dan para sahabatnya sedang
berpergian mendatangi saudara mereka, Rasulullah SAW mengatakan:
إِنَّكُمْ
قَادِمُوْنَ عَلَى إِخْوَانِكُمْ،
فَأَصْلِحُوْا رِحَالَكُمْ وَأَحْسِنُوْا
لِبَاسَكُمْ (رواه
أبو داود)
Kalian
akan tiba mendatangi saudara kalian. Oleh karena itu, rapikanlah
bawaan kalian dan rapikanlah pula pakaian kalian. (HR. Abu Daud)
Berpenampilan rapi
seperti ini juga merupakan sunnah para sahabat. Bahkan terkadang ada
diantara mereka yang membeli pakaian yang relatif mahal, untuk
kemudian digunakannya. Seperti Ibnu Abbas pernah membeli pakaian
seharga seribu dirham, lalu beliau mengenakannya. (Hilyatul Aulia’
I/ 321). Demikian juga dengan Abdurrahman bin Auf, yang pernah
memakai burdah
seharga lima ratus atau empat ratus (Thabaqat Ibnu Sa’d III/131).
Dan berpenampilan rapi serta mengenakan paiakan yang baik,
sesungguhnya tidak identik dengan kesombongan. Karena kesombongan
adalah mengingkari kebenaran dan meremehkan manusia.
2.
Terhadap
Akalnya.
Sebagaimana fisik,
akal memiliki hak yang harus kita tunaikan. Akal juga membutuhkan
‘makanan’, sebagaimana fisik membutuhkannya. Namun kebutuhan
tersebut jelas berbeda dengan kebutuhan fisik. Oleh karenanya, kita
perlu memberikan porsi kepada kita, sebagaimana kita memberikannya
pada fisik. Berikut adalah diantara hal-hal yang harus kita tunaikan
terhadap akal kita:
- Menuntut ilmu sebagai kewajiban dan kemuliaan bagi setiap muslim
Hal pertama yang harus
kita lakukan bagi setiap muslim terhadap akalnya adalah dengan
mengisinya dengan ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Karena disamping
sebagai suatu kewajiban, belajar juga merupakan kemuliaan tersendiri
bagi dirinya. Karena Allah SWT senantiasa akan mengangkat derajat
orang-orang yang berilmu. Dalam Al-Qur’an Allah mengatakan (QS. 35
: 28) :
إِنَّمَا
يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Bahwasanya
orang-orang yang takut kepada Allah, hanyalah para ulama (orang yang
berilmu)”
Kemuliaan ini juga
telah terwujud, meskipun ketika ia baru dalam proses belajar guna
menuntut ilmu sendiri. Dalam sebuah riwayat dikisahkan:
جَاءَ
صَفْوْانٌ بْنُ عَسَّالٍ الْمَرَادِي
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ إِلَى النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ
فِيْ الْمَسْجِدِ، فَقَالَ لَهُ يَا
رَسُوْلَ اللهِ، إِنِّيْ جِئْتُ أَطْلُبُ
الْعِلْمَ، فَقَالَ "مَرْحَبًا
بِطَالِبِ الْعِلْمِ، إِنَّ طَالِبَ
الْعِلْمِ تَحُفُّهُ الْمَلاَئِكَةُ
بِأَجْنِحَتِهَا، ثُمَّ يَرْكَبُ
بَعْضُهُمْ بَعْضًا حَتَّى يَبْلُغَ
السَّمَاءَ الدُّنْيَا مِنْ مَحَبَّتِهِمْ
لِمَا يَطْلُبُ (رواه
أحمد والطبراني وابن حبان والحاكم)
“Suatu
ketika Safwan bin Assal al-Maradi mendatangi Rasulullah SAW yang
sedang berada di masjid. Safwan berkata, Ya Rasulullah SAW, aku
datang untuk menuntut ilmu. Rasulullah SAW menjawab, ‘selamat
datang penuntut ilmu. Sesungguhnya orang yang menuntut ilmu akan
dikelilingi oleh para malaikat dengan sayap-sayapnya. Kemudian mereka
berbaris, sebagian berada di atas sebagian malaikat lainnya, hingga
sampai ke langit dunia, karena kecintaan mereka terhadap penuntut
ilmu.” (HR. Ahmad, Tabrani, Ibnu Hiban dan Al-Hakim)
- Menuntut ilmu hingga akhir hayat.
Terkadang manusia
sering puas, manakala telah mencapai tingkatan tertentu dalam dunia
pendidikan. Padahal sesungguhnya dalam Islam bahwa proses belajar
mengajar merupakan proses yang tiada mengenal kata henti. Karena pada
hakekatnya semakin seseorang mendalami ilmu pengetahuan, maka semakin
pula ia merasa kurang dan kurang. Salah seorang salafuna shaleh
bernama ibnu Abi Gassan – sebagaimana diriwayatkan oleh ibnu Abdil
Bar – berkata :
لاَ
تَزَالُ عَالِمًا مَا كُنْتَ مُتَعَلِّمًا،
فَإِذَا اسْتَغْنَيْتَ كُنْتَ جَاهِلاً
Engkau
akan tetap menjadi orang yang berilmu, manakala senantiasa masih
mencari ilmu. Namun apabila engkau telah merasa cukup, maka jadilah
dirimu orang yang bodoh.”
- Yang harus dipelajari oleh setiap muslim.
Minimal sekali, setiap
muslim perlu mempelajari hal-hal yang memang sangat urgen dalam
kehidupannya. Menurut Dr. Muhammad Ali Al-Hasyimi (1993 : 48),
hal-hal yang harus dikuasai setiap muslim (yang bukan spesialisasi
syari’ah) adalah : Al-Qur’an, baik dari segi bacaan, tajwid dan
tafsirnya; kemudian ilmu hadits; sirah dan sejarah para sahabat;
fikih terutama yang terkait dengan permasalahan kehidupan, dan lain
sebagainya.
- Spesialisasi.
Namun demikian, setiap
muslim juga harus memiliki bidang spesialisasi yang harus
ditekuninya. Spesialisasi ini tidak harus bersifat ilmu syariah,
namun bisa juga dalam bidang-bidang lain, seperti ekonomi, tehnik,
politik dan lain sebagainya. Dalam sejarahnya, banyak diantara
generasi awal kaum muslimin yang memiliki spesialisasi dalam bidang
tertentu.
- Mempelajari bahasa asing
Mempelajari bahasa
asing juga merupakan suatu kebutuhan yang penting. Apalagi manakala
bahsa tersebut merupakan bahasa resmi dalam ilmu pengetahuan seperti
bahasa Inggris dan bahasa Arab, untuk bidang keislaman. Dalam sebuah
riwayat dikisahkan:
عَنْ
زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ، يَا زَيْدٌ
تَعَلَّمْ لِي كِتَابَ يَهُوْدَ، فَإِنِّيْ
وَاللهِ مَا آمَنُ يَهُوْدِى عَلَى
كِتَابِي، فَقاَلَ زَيْدٌ فَتَعَلَّمْتُهُ
فَمَا مَضَى لِيْ نِصْفَ شَهْرٍ حَتَّى
حَذَقْتُهُ، فَكُنْتُ أَكْتُبُ لِرَسُوْلِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذَا كَتَبَ إِلَيْهِمْ، وَأَقْرَأُ
كِتَبَهُمْ إِذَا كَتَبُوْا إِلَيْهِ
(رواه
الترمذي)
Dari Zaid
bin Tsabit ra, bahwa Rasulullah SAW berkata padanya, ‘Wahai Zaid,
pelajarilah untukku tulisan Yahudi. Karena sesungguhnya aku demi
Allah tidak yakin tulisanku pada orang yahudi.’ Zaid mengatakan,
lalu aku mempelajarinya. Dan belum genap setengah bulan berlalu, aku
telah dapat menguasai bahasa Yahudi. Aku senantiasa menulis surat
Rasulullah SAW, ketika beliau ingin menujukannya pada mereka. Akupun
membacakan surat mereka pada Rasulullah SAW. (HR. Turmudzi)
3.
Terhadap
Hatinya/ Ruhiyahnya.
Hati juga merupakan
unsur penting dalam diri setiap insan, yang memiliki hak yang sama
sebagaimana akal dan fisik. Hati membutuhkan makanan sebagaimana akal
dan fisik membutuhkannya. Oleh karena itulan, setiap muslim dituntut
untuk memberikan porsi yang sama terhadap ruhiyahnya sebagaimana ia
telah memberikan pada fisik dan akalnya. Berikut adalah beberapa hal
yang patut direalisasikan seorang muslim terhadap ruhiyahnya.
1.
Mengisi
ruhiyahnya dengan ibadah.
Ibadah merupakan
makanan pokok bagi hati dan ruhiyah kita. Bahkan makanan ruhiyah ini
tidak memiliki batasan kuantitas. Semakin banyak ibadah seseorang,
semakin ia rindu untuk melaksanakan ibadah lainnya. Semakin ia dekat
dengan Allah, semakin ia ingin lebih dekat dan dekat lagi. Berbeda
dengan makanan fisik, dimana paling banyak seseorang dapat memakan
dua sampai tiga piring untuk sekali makannya. Makanan ruhiyah ini
akan dapat membersihkan hati dan menentramkan jiwa. Seseorang yang
memiliki kualitas ibadah yang baik, ia akan senantiasa merasa tenang,
sejuk dan damai. Ibadah-ibadah yang harus dilakukannya, selain yang
wajib adalah yang sunnah. Diantaranya adalah, memperbanyak membaca
dan mentadaburi Al-Qur’an, shalat lail, shadaqah, mendatangi
majlis-majlis ilmu, tafakur alam dan lain sebagainya.
2.
Mengikatkan
diri dengan tempat-tempat dan teman yang menambah keimanan.
Dalam sebuah hadits
Rasulullah SAW pernah mengatakan, bahwa kadar keislaman seseorang
itu, seperti kadar keislaman teman akrabnya. Maka hendaklah seseorang
memperhatikan siapa yang akan dijadikan temannya.” (HR. Turmudzi &
Abu Daud). Karena teman dan lingkungan memiliki pengaruh yang tidak
sedikit terhadap kadar keimanan seseorang. Orang yang bergaul dengan
teman-temannya yang shaleh, maka sedikit banyak akan mempengaruhi
dirinya untuk menjadi orang shaleh. Demikian juga sebaliknya, jika ia
berteman dengan mereka-mereka yang suka mabok-mabokan, judi dan lain
sebagainya, maka sedikit banyak ia akan terpengaruh dan akan terbawa
pada kebiasaan teman-temannya. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS.
18 : 28) :
وَاصْبِرْ
نَفْسَكَ مَعَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ
رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ
يُرِيْدُوْنَ وَجْهَهُ، وَلاَ تَعْدُ
عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيْدُ زِيْنَةَ
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلاَ تُطِعْ
مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا
وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ
فُرُطًا
“Dan
bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru
Tuhannya di pagi dan senja hari dengan menharap keridhaan-Nya; dan
janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan
perhiasan kehidupan dunia; dan janganlah kamu mengkuti orang yang
hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa
nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.”
3.
Memperbanyak
dzikir kepada Allah SWT.
Dzikir merupakan
penguat ruhiyah seorang muslim yang sangat efektif. Dzikir juga
secara langsung dapat menentramkan jiwa pembacanya. Bahkan dengan
dzikir inilah, yang membedakan apakah hati seseorang itu hidup atau
mati. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ
أَبِيْ مُوْسَى رَضِىَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَثَلُ الَّذِيْ
يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لاَ يَذْكُرُ
رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ
(رواه
البخاري)
Dari Abu
Musa ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Perumpamaan orang yang berdzikir
kepada Allah dengan orang yang tidak berdzikir adalah seumpama orang
yang hidup dan orang yang mati.” (HR. Bukhari)
Oleh karenanyalah,
setiap muslim seyogyanya senantiasa membiasakan diri dengan dzikir
kapanpun dan dimanapun mereka berada. Minimal sekali, dzikir-dzikir
pengiring aktivitas tertentu, seperti dzikir hendak makan, sesudah
makan, mau tidur, ke kamar mandi dan lain sebagainya. Dzikir akan
lebih baik lagi manakala kita membiasakan membaca dzikir-dzikir pagi
dan petang, sebagaimana yang sering dibaca oleh Rasulullah SAW.
Akhlak
Seorang Muslim Terhadap Orang tuanya
Orang
tua merupakan orang yang paling dekat dan paling prioritas kita
perlakukan secara baik di dunia ini. Apalagi jika kita ingin mencoba
untuk mengupas satu persatu kebaikan mereka, tentulah kita akan sulit
untuk membalasnya. Oleh karena itulah, pengorbanan yang demikian
besarnya dari orang tua, hendaknya kita balas dengan akhlak dan etika
yang baik terhadap mereka. Jangan sampai sebagai seorang anak, kita
durhaka kepada mereka. Apalagi jika kita mengingat bahwa durhaka
kepada orang tua merupakan dosa kedua terbesar dalam Islam.
Berikut
adalah berapa moralitas seorang muslim yang harus dipenuhi dalam
berinteraksi terhadap kedua orangtuanya:
1.
Berbuat
baik terhadap kedua orang tua.
Diantara sifat utama
seorang muslim adalah berbuat baik terhadap kedua orang tuanya.
Karena berbakti terhadap orang tua merupakan salah satu sifat yang
paling diperhatikan oleh Islam. Hal ini terbukti bahwa Islam
menjadikan durhaka kepada kedua orang tua sebagai dosa terbesar
setelah menyekututkan Allah. Oleh karena itulah, setiap muslim
mendapatkan perintah Allah untuk berbuat baik kepada kedua orang
tuanya. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman: (QS. 4 : 36)
وَاعْبُدُوْا
اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan
sembahlah Allah, dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu apapun. Dan berbuat baiklak kepada dua orang ibu bapak..”
2.
Mengetahui
‘keutamaan’ mereka berdua, serta apa yang wajib dilakukan
terhadap mereka berdua. Karena sesungguhnya Islam mengangkat derajat
kedua orang tua pada tingkatan yang sangat tinggi dalam sejarah
kehidupan manusia. Dimana Allah menjadikan berbuat baik terhadap
mereka berdua sebagai derajat tertinggi dalam beribadah, setelah
ibadah kepada Allah SWT. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS. 17 :
23)
وَقَضَى
رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوْا إِلاَّ
إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا،
إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ
أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ
تَقُلْ لهَمُاَ أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْ
هُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيْمًا*
وَاخْفِضْ
لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ
الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا
كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيْرًا*
Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di atantara keduanya atau
kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan pada keduanya perkataan “ah”
dan janganlah kamu membentak merreka dan ucapkanlakh kepada mereka
perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua
dengan pneuh kesangayanga dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, kasihilah
mereka keduanya, sebagaimana merreka berdua telah mendidik aku waktu
kecil.”
Ayat di atas sangat
jelas memberikan batasan kepada kita, bagaimana seharusnya
berinteraksi dengan kedua orang tua. Terutama pada saat-saat mereka
telah memasuki usia lanjut, yang terkadang segala tindakan mereka
menyebabkan munculnya kejengkelan terhadap mereka. Namun Islam dengan
tegas memberikan perintah untuk tetap harus berbuat baik terhadap
mereka berdua. Bahkan Islam melarang, walaupun untuk sekedar
mengatakan “ah”, kepada meraka berdua. Islam memerintahkan untuk
menggunakan tutur kata yang baik dan sopan kepada keduanya, apapun
kondisinya.
3.
Berbuat
baik terhadap orang tua, meskipun mereka bukan muslim.
Bahkan sekiranya kita
memiliki orang tua yang bukan muslim sekalipun, kita tetap harus
menunaikan kewajiban kita terhadap mereka berdua. Tetap harus berbuat
baik kepada mereka, harus bertutur kata yang sopan santun dan penuh
kelembutan dan juga harus tetap taat kepada mereka berdua, selagi
tidak dalam perbuatan melanggar perintah Allah SWT. Dalam sebuah
riwayat dikatakan:
عَنْ
أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِيْ بَكْرٍ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُمَا قَالَتْ قَدَمَتْ عَلَيَّ
أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِيْ عَهْدِ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قُلْتُ إِنَّ أُمِّي قَدَمَتْ وَهِيَ
رَاغِبَةٌ أَفَأَصِلُ أُمِّي قَالَ
نَعَمْ صِلِي أُمَّكِ (رواه
البخاري)
Dari
Asma’ binti Abu Bakar ra, beliau berkata, ‘Ibuku datang kepadaku,
dan dia masih seorang yang musyrik pada zaman Rasulullah SAW. Lalu
aku bertanya pada Rasulullah SAW, ‘Wahai Rasulullah SAW, ibuku
datang kepada mengharapkan sesuatu dari ku, apakah aku harus berbuat
baik kepadanya, sedangkan ia masih musyrik? Rasulullah SAW menjawab,
ya, berbuat baiklah kepadanya.”
(HR.
Bukhari & Muslim)
Beginilah Islam
memperlakukan orang tua, meskipun orang tua kita berada dalam agama
lain yang bukan Islam. Namun Islam memerintahkan untuk berbuat baik
kepadanya. Meskipun demikian, Islam tetap memiliki rambu-rambu dalam
berbuat baik kepada orang tua yang tidak muslim. Dalam Al-Qur’an
Allah mengatakan (QS. 31 : 15)
وَإِنْ
جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِيْ
مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ
تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا
مَعْرُوْفًا
“Dan
jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang
tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengkuti
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.”
4.
Tidak
durhaka kepada kedua orang tuanya.
Selain memerintahkan
untuk berbuat baik terhadap keduanya, Islam juga melarang kita untuk
berbuat durhaka kepada orang tua. Karena durhaka terhadap orang tua
merupakan dosa terbesar dalam Islam, setelah menyekutukan Allah.
Dalam sebuah riwayat disebutkan:
عَنْ
أَبِيْ بَكْرَةَ نُفَيْعِ بْنِ الْحَارِثِ
قَالَ:
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ "أَلاَ
أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟
ثَلاَثًا.
قُلْنَا
:
بَلَى
يَا رَسُوْلُ اللهِ، قَالَ :
الإِشْرَاكُ
بِاللهِ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ"
(متفق
عليه)
Dari Abu
Bakrah Nufai’ bin al-Harits, bahwa Rasulullah SAW bersabda “Maukah
kalian aku beritahu tentang dosa yang paling besar?” Kami menjawab,
“Tentu wahai Rasulullah SAW.” Beliau berkata, “Menyekutukan
Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” (Mutafaqun Alaih)
5.
Mendahulukan
ibu, kemudian ayah.
Bagaimanapun juga,
seorang ibu lebih memiliki peran yang besar dalam diri kita. Ibu
kitalah yang telah mengandung kita selama sembilan bulan, melahirkan
kita dengan susah payah, membesarkan, merawat dan mendidik kita
hingga dewasa seperti saat ini. Meskipun dalam hal tersebut peran
bapak juga besar, namun tidak sedominan peranan ibu. Oleh karena
itulah, Islam menjadikan berbakti kepada ibu, lebih prioritas
dibandingkan dengan berbakti kepada bapak. Dalam sebuah riwayat
dikemukakan:
عَنْ
أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ
بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ أُمُّكَ،
قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ
ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ
مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ"
(متفق
عليه)
Dari Abu
Hurairah ra, bahwa seseorang datang kepada rasulullah SAW, lalu
bertanya, wahai rasulullah, siapakan orang yang paling berhak aku
berbuat baik kepadanya? Rasulullah menjawab, ibumu. Lalu ia bertanya
lagi, kemudian siapa wahai rasulullah ? Beliau menjawab ibumu.
Kemudian ia bertanya lagi, lalu siapa wahai rasulullah? Beliau
menjawab, ibumu. Lalu ia bertanya lagi, kemudian siapa wahai
rasulullah? Beliau menjawab, bapakmu. (Mutafaqun Alaih)
6.
Berbuat
baik terhadap orang yang dicintai orang tua.
Sekiranya pun orang
tua kita telah tiada, kita masih memiliki kewajiban sekaligus
menunjukkan etika kita kepada kedua orang tua kita, yaitu dengan
menyambung tali persaudaraan dengan orang-orang yang dicintai orang
tua kita, apakah famili, kerabat, teman dan lain sebagainya. Dalam
sebuah riwayat digambarkan:
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ أَبَرُّ الْبِرَّ أَنْ
يَصِلَ الرَّجُلُ وُدَّ أَبِيْهِ (رواه
مسلم)
Dari ibnu
Umar ra, Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik perbuatan baik
terhadap orang tua adalah mernyambung persaudaraan terhadap
orang-orang yang cintai orang tuanya.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain,
digambarkan :
سَأَلَ
رَجَلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ،
هَلْ بَقِيَ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ
بَعْدَ مَوْتِهِمَا أَبَرُّهُمَا؟ قَالَ
نَعَمْ، خِصَالٌ أَرْبَعٌ:
الدُّعَاءُ
لَهُمَا وَاْلإِسْتِغْفَارُ لَهُمَا،
وَإِنْقَاذُ عَهْدِهِمَا، وَإِكْرَامِ
صَدِيْقِهِمَا، وَصِلَةُ الرَّحِمِ
الَّتِى لاَ رَحِمَ لَكَ إِلاَّ مِنْ
قِبَلِهِمَا (أخرجه
البخاري في الأدب المغرد)
Seseorang
bertanya kepada Rasulullah SAW, wahai Rasulullah, apakah masih
tersisa kewajibanku untuk berbuat baik kepada kedua orangtuaku,
apakah aku masih harus berbakti kepada keduanya? Rasulullah SAW
menjawab, Ya. Ada empat hal yang harus dilakukan: Mendoakan dan
memohon ampunkan bagi keduanya, merealisasikan janji/ keinginan
mereka berdua, memuliakan teman-teman mereka berdua dan menyambung
tali persaudaraan yang engkau tidak memiliki hubungan lagi dengan
mereka kecuali melalui kedua orang tuamu. (HR. Bukhari dalam Adab
Mufrad)
7.
Diantara
cara berbuat baik terhadap orang tua.
Pada dasarnya, dalam
kondisi apapun juga, kita diperintahkan oleh Allah dan Rasulullah SAW
untuk selalu berbuat baik kepada orang tua dan menghormatinya dengan
penghormatan yang mulia. Berikut merupakan beberapa hal yang posisitf
yang seyogyanya dilakukan seorang muslim:
a)
Berdiri
untuk menyambutnya, menakala mereka tiba di tempat kita berada.
b)
Mencium
tangan kedua orang tua, ketika akan pergi atau tiba dari orang tua.
c)
Mengecilkan
volume suara kita dihadapan orang tua kita, sebagai penghormatan
terhadapnya.
d)
Senantiasa
berusaha menyenangkan hati keduanya.
e)
Menggunakan
cara dan bahasa yang lembut ketika berbicara pada keduanya.
f)
Tidak
menampakkan sikap negatif dari diri kita, manakala kita mendapatkan
hal yang kurang menyenangkan yang berasal dari orang tua kita.
Akhlak
Seorang Muslim Terhadap Kerabat Keluarganya
Sebagai
seorang muslim, kita juga memiliki etika sekaligus kewajiban terhadap
kerabat keluarga kita, dengan berbuat ihsan terhadap mereka. Karena
berbuat baik, dalam Islam tidak hanya ditujukan kepada orang tua
saja. Namun lebih jauh dari itu, terhadap seluruh kerabat keluarga
kita secara keseluruhan.
Kerabat
keluarga adalah mereka-mereka yang jika ditinjau dari segi nasab
keturunan, masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan kita. Baik
yang satu ahli waris, atau pun yang diluar ahli waris. Dan ternyata
Islam memiliki perhatian yang cukup besar dalam masalah hubungan
seseorang dengan kerabat keluarganya. Sebagai contoh, Allah berfirman
dalam Al-Qur’an (QS. 4 : 36)
وَاعْبُدُوْا
اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا
وَبِالْوَاِلدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِى
الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَاْلمَسَاكِيْنِ
وَالْجَارِ ذِى الْقُرْبىَ وَالْجَارِ
الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ
وَابْنِ السَّبِيْلِ وَمَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ
كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍ*
Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.
Dan berbuat baiklah kepad dua orang ibu bapak, kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh,
teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga0banggakan diri.
Dalam ayat di atas,
Allah menjadikan urutan berbuat baik kepada kerabat, setelah
keharusan berbuat baik kepada kedua orang tua. Hal ini menunjukkan
betapa berbuat baik dan menyambung tali persaudaraan terhadap kerabat
merupakan hal yang sangat penting. Dalam hadits Rasulullah SAW
mengatakan:
عَنْ
أَبِي أَيُّوْبِ اْلأَنْصَارِي أَنَّ
رَجُلاً قَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ،
أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِى
الْجَنَّةَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَعْبُدُوْا
اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا
وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِى
الزَّكَاةَ وَتَصِلَ الرَّحِمَ (متفق
عليه)
Dari Abu
Ayub al-Anshari ra, bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW,
wahai Rasulullah, beritahukan padaku akan amalan yang dapat
memasukkan ku ke dalam surga. Rasulullah SAW menjawab, ‘Menyembah
Allah dan menyekutukannya pada apapun juga, menegakkan shalat,
menunaikan zakat dan menyambung tali persaudaraan. (Mutafaqun Alaih)
Oleh karena itulah,
seorang muslim juga harus memiliki akhlak yang baik terhadap kerabat
keluarganya, sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. Diantara
akhak terhadap kerabat keluarga adalah :
1.
Larangan
untuk memutuskan tali persaudaraan.
Di samping
memerintahkan untuk menyambung persaudaraan terhadap kerabat
keluarga, Islam juga secara tegas memberikan larangan untuk
memutuskan tali persaudaraan. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW
bersabda:
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ
قَاطِعُ رَحِمٍ (متفق
عليه)
Rasulullah
SAW bersabda, ‘Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan
persaudaraan.’ (Muttafaqun Alaih)
2.
Seorang
muslim menyambung tali persaudaraan berdasarkan petunjuk Islam.
Karena seorang muslim
yang baik, ia akan senantiasa menyambung tali persaudaraan terhadap
siapapun, apalagi terhadap mereka yang memiliki hubungan
kekeluargaan. Namun dalam menyambung tali persaudaraan tersebut,
haruslah dengan memberikan skala prioritas dalam berbuat baik kepada
mereka. Pertama-tama harus dimulai dari yang terdekat, kemudian yang
dekat. Dalam hal ini dimulai dari ibu, bapak, baru kerabat terdekat
lainnya.
Disamping itu
menyambung tali persaudaraan kepada mereka, dengan tujuan
meningkatkan ketakwaan dan keimanan kita kepada Allah SWT. Sehingga
manakala kita melihat adanya faktor yang justru ‘membahayakan’
keimanan kita, maka kita perlu memberikan batasan dalam menyambung
tali persaudaraan tersebut.
3.
Menyambung
tali persaudaraan, meskipun terhadap kerabat yang bukan muslim.
Karena pada hakekatnya
mereka secara nasab, masih memiliki hubungan dengan kita. Oleh karena
itulah, kita diperintahkan untuk senantiasa berbuat baik kepada
mereka. Dalam sebuah riwayat digambarkan:
عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرُو بْنِ الْعَاصِ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ :
سَمِعْتُ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ جِهَارًا غَيْرَ سِرٍّ يَقُوْلُ
"إِنَّ
آل أَبِي فُلاَنٍ لَيْسُوْا بِأَوْلِيَائِي،
إِنَّمَا وَلِيِّي اللهُ وَصَالِحُ
الْمُؤْمِنِيْنَ وَلَكِنْ لَهُمْ رَحِمٌ
أَبُلُّهَا بِبِلاَلِهَا (متفق
عليه)
Dari
Abdillah bin Amru bin Ash ra, aku mendengar Rasulullah SAW dengan
suara keras, tidak dengan suara pelan bersabda: “Sesungguhnya
keluarga Abu Fulan bukanlah termasuk ‘penolongku’. Karena
penplongku hanyalah Allah dan kaum muslimin yang shaleh. Namun
terhadap mereka aku memiliki kekerabatan yang aku menyambung tali
persaudaraan dengan berbuat baik yang layak terhadap mereka.
(Mutafaqun Alaih)
4.
Memahami
hakekat silaturahim dengan makna yang lebih luas
Dalam artian bahwa
menyambung silaturahim dengan seluruh kerabat keluarga kita, tidak
hanya dalam skup materi saja, namun juga harus dalam hal-hal yang
lebih luas dari sekedar materi, seperti dengan silaturahim
mengunjungi rumahnya, mempererat hubungan dengan memperdalam rasa
cinta, saling memberikan nasehat, ungkapan-ungkapan yang baik, dan
dalam hal-hal positif lainnya. Dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW
bersabda:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ،
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
بُلُّوْا
أَرْحَامَكُمْ وَلَوْ بِالسَّلاَمِ
(رواه
البزار)
Dari ibnu
Abbas ra, Rasulullah SAW bersabda “Berbuat baiklah terhadap kerabat
kalian, walaupun sekedar mengucapkan salam.” (HR. Al-Bazar)
5.
Menyambung
tali persaudaraan, sekalipun terhadap kerabat yang tidak mau
menyambungnya.
Sebagai manusia biasa,
terkadang terhadap kerabat keluarga sekalipun dapat terjadi
perselisihan yang mengakibatkan retaknya hubungan. Bahkan tidak
jarang, sikap satu pihak terhadap pihak yang lainnya cenderung untuk
tidak menegur, tidak menyapa dan tidak mau menyambung lagi tali
persaudaraannya. Namun sebagai agama yang penuh dengan nilai-nilai
rahmat, Islam melarang seseorang untuk berbuat seperti itu. Dalam
sebuah riwayat dikatakan:
قاَلَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ :
لَيْسَ
الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئ وَلَكِنَّ
الْوَاصِلَ الَّذِي إِذَا قَطَعَتْ
رَحِمُهُ وَصَلَهَا (رواه
البخاري)
Rasulullah
SAW besabda, Bukanlah orang yang (dinamakan) menyambung persaudaraan
dengan berupa balasan (menyambung jika kerabat kita menyambungnya).
Namun orang yang menyambung persaudaraan adalah yang senantiasa
menyambungnya meskipun mereka memutuskan persaudaraannya. (HR.
Bukhari)
Akhlak Seorang
Muslim Terhadap Tetangga & Masyarakatnya.
Tetangga
dan masyarakat sekitar tempat kita tinggal merupakan kumpulan dari
manusia-manusia yang terdekat dengan kehidupan kita. Keberadaan
mereka merupakan sesuatu yang sangat penting, apalagi manakala kita
mencoba merenungkan bahwa sesungguhnya Islam merupakan agama sosial.
Karena Islam sangat memperhatikan masalah sosial, serta
menjadikan kehidupan sosial sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari ajaran-ajarannya. Oleh karena itulah, kita akan banyak
menemukan, baik dalam Al-Qur’an maupun dalam Sunnah, ajaran-ajaran
yang sangat bersinggungan dengan masalah sosial. Berikut adalah
beberapa etika seorang muslim terhadap masyarakat dan tetangganya,
diantaranya adalah:
1.
Memuliakan
tetangganya.
Islam bahkan
menjadikan ‘memulian’ tetangga sebagai salah satu syarat untuk
dapat mewjujudkan ‘kesempurnaan iman’. Karena orang muslim yang
memiliki kesempurnaan iman, segala perbuatannya akan
mengimplementasikan nilai-nilai keimanan dalam dirinya, termasuk
diantaranya adalah memuliakan tetangganya. Dalam sebuah hadits,
Rasulullah SAW bersabda:
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ "
مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ
اْلأَخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ،
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ
اْلأَخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ
اْلأَخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ
لِيَسْكُتْ (متفق
عليه)
Rasulullah
SAW bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari
kiamat, maka hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya, barang
siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia
memuliakan tamunya, dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan
hari akhir hendaklah ia bertutur kata yang baik atau hendaknya ia
diam. (Mutafaqun Alaih)
2.
Pemaaf
dan pemurah terhadap tetangga.
Tetangga kita adalah
juga merupakan manusia biasa biasa yang terkadang berbuat kesalahan
terhadap kita. Namun sebagai seorang muslim yang baik yang memahami
hal ini, akan memiliki rasa pemaaf dan pemurah terhadap mereka. Dalam
sebuah riwayat disebutkan:
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لاَ يَمْنَعْ جَارٌ جَارَهُ
أَنْ يَغْرِزَ خَشْبَةً فِيْ جِدَارِهِ
(متفق
عليه)
Rasulullah
SAW bersabda, hendaklah seseorang jangan melarang tetangganya ketika
menancapkan sepotong kayu pada dinding (rumahnya) (Mutafaqun Alaih)
3.
Mencintai
mereka sebagaimana mencintai diri kita sendiri.
Bahkan hal ini sudah
menjadi sesuatu yang harus dilakukan terhadap siapapun yang masih
memiliki ikatan akidah yang sama. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW
mengatakan:
لاَ
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ
لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ (متفق
عليه)
Tidak
beriman salah seorang diantara kalian, hingga ia mencintai saudaranya
sendiri sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. (Mutafaqun Alaih)
Dan salah satu bentuk
kecintaan kita kepada mereka adalah dengan memiliki kepedulian
terhadap sesuatu yang menimpa mereka. Rasulullah SAW bersabda:
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَا آمَنَ بِيْ مَنْ بَاتَ
شَبْعَانَ وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى
جَنْبِهِ وَهُوَ يَعْلَمُ (رواه
الطبراني)
Rasulullah
SAW bersabda, ‘Tidak beriman seseorang kepadaku, siapa saja yang
tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangga yang berada di
sisinya kelaparan dan ia mengetahui hal tersebut. (HR. Tabrani)
4.
Berbuat
baik kepada tetangga, baik yang muslim atau yang non muslim.
Kendatipun tetangga
kita ada yang bukan muslim, namun kita masih memiliki kewajiban untuk
berbuat baik kepada mereka. Dalam sebuah riwayat digambarkan, bahwa
Abdullah bin Amru bin Ash suatu ketika menyembelih seokor kambing,
lalu memberikannya pada tetangganya yang Yahudi. Ketika ditanya,
beliau menjawab aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Bahwa
Jibril senantiasa memberikan wasiat kepadaku untuk berbuat baik
kepada tetangga, sampai aku mengiranya bahwa beliau akan memberikan
warisan kepada tetangganya.” (HR. Bukhari Muslim)
5.
Memprioritaskan
perbuatan ihsan, terhadap yang terdekat kemudian yang dekat.
Hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Aisyah ra ketika bertanya kepada Rasulullah SAW:
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ
قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّ لِيْ
جَارَيْنِ فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِى؟
قَالَ إِلَى أَقْرَبُهُمَا مِنْكِ بَابَا"
(رواه
البخاري)
Dari
Aisyah ra, beliau bertanya kepada rasulullah SAW, ‘Wahai
rasulullah, aku memiliki dua tetangga, kepada yang manakah aku
mengirimkan hadiah? Rasulullah menjawab, kepada yang paling dekat
pintunya dari umahmu. (HR. Bukhari)
6.
Muslim
terbaik adalah yang terbaik bagi tetangganya.
Dalam sebuah hadits
Rasulullah SAW mengatakan :
خَيْرُ
الْجِيْرَانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ
لِجَارِهِ (رواه
البخاري في الأدب المفرد)
Sebaik-baik
tetangga di sisi Allah, adalah sebaik-baik mereka bagi tetangganya.
(HR. Bukhari dalam Al-Adab al-Mufrad)
7.
Tetangga
yang buruk.
Islam bahkan melarang
seseorang untuk menjadi tetangga yang tidak baik bagi tetangganya
yang lain. Bahkan Rasulullah SAW menyebutkan sebagai seseorang yagn
tidak beriman kepada Allah. Rasulullah SAW mengatakan:
وَاللهِ
لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ،
وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، قِيْلَ مَنْ يَا
رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ الَّذِي لاَ
يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ (متفق
عليه)
Rasulullah
bersabda “Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi
Allah tidak beriman”, kemudian ditanyakan siapa wahai rasulullah ?
Beliau menjawab, yang tidak memberikan rasa aman pada tetangganya
dari kejelekan-kejelekan dirinya.” (Mutafaqun Alaih)
8.
Menjaga
untuk tidak terjerumus pada perbuatan salah terhadap tetangganya.
Karena
kesalahan yang paling besar adalah kesalahan yang dilakukan seseorang
terhadap tetangganya. Dalam sebuah hadtis disebutkan
لِأَنْ
يَزْنِيَ الرَّجُلُ بِعَشْرِ نِسْوَةٍ
أَيْسَرَ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يَزْنِيَ
بِامْرَأَةِ جَارِهِ (رواه
أحمد)
Rasulullah
bersabda, bahwa zinanya seseorang terhadap sepuluh wanita, itu lebih
ringan dari pada zinanya seseorang terhadap wanita tetangganya. (HR.
Ahmad)
9.
Sabar
terhadap keburukan tetangga dan masyarakatnya.
Karena bagaimanapun
juga, tidak semua orang memiliki sifat yang baik. Adakalanya kita
harus berhadapan dengan tetangga yang buruk perangainya, atau
senantiasa berbuat kemaksiatan kepada Allah SWT. Mengenai hal ini,
Rasulullah SAW mengatakan kepada kita:
المُؤْمِنُ
الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيْصْبِرُ
عَلَى آذَاهُمْ أَفْضَلُ مِنَ الْمُؤْمِنِ
الَّذِي لاَ يُخَالِطُ النَّاسَ وَلاَ
يَصبِرُ عَلَى آذَاهُمْ (رواه
الطبراني)
Rasulullah
SAW bersabda, “Seorang mu’min yang berinteraksi dengan
masyarakatnya dan bersabar atas keburukan mereka, lebih baik daripada
seorang mu’min yang tidak berinteraksi dengan mereka serta tidak
sabar atas keburukan mereka. (HR. Tabrani)
10.
Tidak
membalas kejelekan tetangganya dengan yang serupa
Karena pada dasarnya
Islam tidak mengizinkan untuk berbuat buruk kepada orang yang juga
berbuat buruk kepada kita. Kita justru diminta untuk senantiasa tetap
berbuat baik kepada mereka meskipun mereka terkadang tidak baik
terhadap kita. Dalam sebuah hadits digambarkan:
أَتَى
مُحَمَّدٌ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ سَلاَمٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ آذَانِي
جَارِيْ، فَقَالَ اصْبِرْ، ثُمَّ عَادَ
الثَّانِيَةَ فَقَالَ آذَانِي جَارِيْ
فَقَالَ اصْبِرْ، ثُمَّ عَادَ الثَّالِثَةَ
فَقَالَ آذَانِيْ جَارِيْ فَقَالَ اعْمِدْ
إِلَى مَتَاعِكَ فَاقْذِفْهُ فِي
السَّكَّةِ فَإِذَا أَتَى عَلَيْكَ آتٍ
فَقُلْ آذَانِي جَارِيْ، فَتَحَقَّقُ
عَلَيْهِ اللَّعْنَةَ، مَنْ كَانَ
يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ
فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ"
Suatu
ketika Abdullah bin Salam ra mendatangi Rasulullah SAW lalu berkata,
wahai rasulullah, sesungguhnya tetanggaku menyakitiku. Rasulullah SAW
bersabda, bersabarlah. Kemudian beliau pulang, lalu kembali pada
Rasulullah SAW untuk kedua kalinya dan berkata, wahai Rasulullah SAW.
Tetanggaku menuyakitiku. Rasulullah SAW menjawab, bersabarlah.
Kemudian ia pulang lalu kembali mendatangi Rasulullah SAW untuk yang
ketiga kalinya, dan berkata, wahai Rasulullah SAW, tetanggaku
menyakitiku. Beliau menjawab, kalau demikian peganglah
barang-barangmu, lalu lemparkan ke jalan. Dan apabila ada seseorang
yang mendatagimu, katakalnlah (bahwa hal ini dilakukan) karena
tetanggaku menyakitiku, hingga ia akan mendapatkan laknat. Dan barang
siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaklah ia
memuliakan tetagganya.
(Hayatus
Shahabah III/50)
Penutup
Pada
dasarnya, ketika kita ingin mengupas secara lebih teliti mengenai
etika atau akhlak dalam Islam, kita akan mendapatkan, betapa Islam
merupakan agama yang penuh dengan nilai-nilai budi pekerti yang
mulia. Karena memang Islam diturunkan oleh Allah adalah untuk
memperbaiki tatanan moralitas yang telah rusak yang terjadi pada
masyarakat dunia. Rasulullah SAW sendiri mengatakan bahwa beliau
diutus dalam rangka untuk memperbaiki budi pekerti atau akhlak
masyarakat dunia, dari kondisi yang buruk menjadi kondisi yang baik.
Adapun gambaran mengenai akhlak dan etika di atas, barulah merupakan
sekelumit ajaran Islam mengenai tatacara berakhlak, baik terhadap
Allah ataupun terhadap manusia lainnya.
Namun
ketika kita mempelajari akhlak islami, bukanlah semata-mata hanya
sebagai bahan atau obyek dalam bidang keilmuan. Namun lebih dari itu,
bahwa akhlak haruslah merupakan sesuatu yang mengakar dan tertancap
dalam jiwa setiap muslim. Sehingga dimanapun ia berada, senantiasa
mencerminkan sebagai seorang muslim sejati, kendatipun ia hidup
ditengah-tengah masyarakat jahiliyah.
Wallahu
A’lam Bis Shawab
By.
Rikza Maulan, Lc., M.Ag.
Bahan Bacaan
Al-Baqi, Muhammad Fuad
Abd. Al-Mu’jam
Al-Mufahras fi Al-Fadz Al-Qur’an Al-Karim.
1987 – 1407 : Beirut – Libanon : Dar Al-Fikir.
Hadiri, Choiruddin.
Klaifikasi
Kandungan Al-Qur’an.
1996. Cet. V. Jakarta – Indonesia : Gema Insani Press.
Al-Hasyimi, Muhammad
Ali. Syakhsiyatul
Muslim; Kama Yashughuha al-Islam fi al-Kitab wa al-Sunnah.
1993 – 1414. Cet. V. Beirut : Dar al-Basya’ir Al-Islamiyah.
CD ROM. Al-Maktabah
Al-Alfiyah Li Al-Sunnah Al-Nabawiyah.
Versi 1.5. 1999 – 1419. Yordan : Al-Turats ; Al-Markaz Li Abhasts
Al-Hasib Al-Ali.
0 komentar:
Posting Komentar