Abdullah
Letnan
Yosep tersentak kaget. Dia tidak percaya kalau Abdullah ingin pergi
ke Tel Aviv, menemui kakak iparnya di penjara bawah tanah. Semua
orang, Israel, terutama tentara-tentaranya tahu bahwa tidaklah mudah
untuk dapat memasuki penjara itu. Penjagaannya sangat ketat. Bahkan
tidak semua tentara Israel boleh memasukinya. Hanya mereka yang
mempunyai kepentingan dan mendapat izin kepala dinas intelegensi
Israel yang boleh masuk. Penjara ini sangat rahasia. Orang asing
dilarang keras meninjau lokasi yang memang sengaja dirahasiakan.
Penjara ini sangat rahasia. Orang asing dilarang keras meninjau
lokasi yang memang sengaja dirahasiakan. Penjara ini khusus menampung
tawanan Palestina yang menurut mereka tingkat kejahatannya sangat
tinggi. Biasanya yang dikirim ke penjara ini adalah orang-orang yang
berpengaruh dan berperan aktif dalam merencanakan teror terhadap
orang-orang Israel.
"Apa
kamu yakin kakakmu ada di penjara itu?" tanya Letnan Yosep
meminta penjelasan. "Ya, kalau aku tidak yakin buat apa aku
bersikeras pergi ke Tel Aviv? Tolonglah Letnan, bagaimana caranya
agar aku dapat memasuki tahanan itu," pinta Abdullah.
Letnan
Yosep hanya manggut-manggut. Dia menunduk, membenamkan wajahnnya di
meja kerjanya. Jidatnya tampak berkerut sebagai tanda berpikir keras.
Dia menarik rambutnya berulang-ulang. Merasa pusing dan bingung.
Kemudian dia mendesah, menghela nafas panjang.
"Tidak
mungkin aku membantumu, Abdullah! Aku tidak berani menerima
resikonya. Resikonya terlalu besar dan sanksinya sangat berat. Aku
bisa dihukum mati kalau nekat membantumu!"
"Apa
Letnan tidak percaya padaku? Tidakkah Anda ingat bagaimana aku
membantu letnan selama ini? Memberikan informasi untuk Anda. Sekarang
ini, aku benar-benar membutuhkan pertolonganmu. Sekali ini saja
Letnan!" Abdullah mendesak. "Letnan takut resiko? Bukankah
selama ini Anda selalu berhadapan dengan resiko?" Abdullah mulai
memaksa. "Dengar letnan, aku telah banyak membantumu tapi Anda
tidak pernah berpikir untuk membalas usahaku sama sekali.
"Abdullah
aku ini anggota intelegen yang tidak sembarangan mempercayai orang
lain. Bahkan kepada saudaraku sendiri pun aku tidak boleh
mempercayainya begitu saja. Ini urusan negara."
"Jadi
selama ini, Anda tidak menaruh kepercayaan kepadaku?" "Bukan
itu maksudku. Ini lain masalahnya. Ini bukan masalah kecil, penuh
dengan resiko."
"Letnan,
aku tahu Anda selalu berhadapan dengan resiko. Anda berhadapan dengan
orang Palestina itu sebuah resiko yang sangat besar. Anda
menginjakkan kaki di Palestina ini berarti Anda telah siap menghadapi
segala macam resiko yang bakal terjadi. Sadarkah Anda kalau nyawa
Anda akan terancam setiap saat? Tetapi sekarang Anda mengatakan takut
menghadapi resiko. Resiko mana lagi yang Anda maksud!"
Letnan
Yosep duduk termangu. Bimbang dan ragu. Di kepalanya seakan ditaruh
sebuah beban yang sangat besar dan berat. Dia tidak mampu menahan
beban itu.
Okey,
okey kalau itu keputusan Letnan, aku mengerti. Tapi ingat, mulai
sekarang anggap saja kita tidak mempunyai hubungan lagi! Aku tidak
peduli segala urusan di sini. Jangan menyesal kalau kelak kita
berhadapan sebagai musuh!" Abdullah mengancam kemudian pergi
meninggalkan letnan Yosep yang duduk termangu.
Letnan
Yosep terkejut mendengar ancaman Abdullah. Segera dia berteriak
memanggilnya, "Abdullah, tunggu!" Abdullah menoleh ke
belakang. Berhenti sejenak, menunggu letnan Yosep datang
menghampirinya. "Baiklah, aku akan membantumu. Besok kita pergi.
Tapi ingat, kamu tetap dalam pengawasanku. Jangan bertindak
macam-macam. Kalau kamu bertindak macam-macam, aku tidak segan-segan
menembakmu!" Yosep mengancam. Kamu akan kupernalkan dengan
seorang teman yang bertugas di penjara Tel Aviv. Kalau dia menanyaimu
bilang saja kamu adalah seorang mata-mata yang mendapat tugas di
Gaza. Ingat Abdullah, kegiatan ini penuh resiko!" "Todah,
Letnan. Atta akhi tov (Terima kasih letnan, engkau saudaraku yang
baik)," Abdullah memeluknya erat-erat. "Ya, kia ketemu di
Tel Aviv, di sebuh halte dekat gedung walikota. Ingat pukul 15.00!"
"Siap, Letnan!"
Penjara
ini memang untuk membuat orang yang dipenjara menjadi jerah. Ruangan
bawah tanah yang sepi dan mencekam. Lembab dan gelap. Sel-sel tahanan
berderet sepanjang lorong-lorong gelap. Sel tahanan itu telah terisi,
penuh sesak. Penghuni penjara itu sebagian besar orang-orang
Palestina. Ada juga beberapa orang Asia, entah dari mana asalnya.
Abdullah tidak begitu memperhatikan mereka. Buru-buru dia
melangkahkan kakinya menelusuri lorong-lorong gelap menuju sel nomor
24 dengan kawalan yang ketat. Dua tentara Israel bersenjata lengkap
terus menempelnya.
Perlahan
pintu sel nomor 24 dibuka. Abdullah terkejut. Di dalam sel sempit dan
lembab itu, duduk seorang lelaki kurus dengan kondisi yang sangat
menyedihkan. Tubuhnya tampak mengigil kedinginan. Mukanya rusak, ada
tanda-tanda bekas penyiksaan. Lelaki ini tidak dapat berdiri. Kakinya
lumpuh tidak mampu menyangga tubuhnya yang lemah. Kaki itu
benar-benar tidak dapat digerakkan. Lemas dan tidak bertenaga. Kini,
yang masih tersisa dari lelaki itu hanyalah sorot matanya yang masih
tajam dan jernih. Sebuah senyuman kedamaian yang menandakan
ketenangan dan ketabahan selalu menghiasi bibirnya yang kering
meranggas. Dan Qur'an saku tergenggam di tangganya. "Kamu punya
waktu limba belas menit!' kata petugas itu. "Boleh aku berdua
saja dengan dia?" pinta Abdullah. "Tidak bisa. Kamu harus
mengawasimu terus." "Apakah engkau akan terus berdiri
mematung disampingkku. Mengusik ketenanganku?" "Tidak kami
akan mengawasimu dari balik jeruji." "Kalau begitu, biarkan
aku berdua." "Baik!"
Abdullah
memandang lelaki lumpuh yang duduk di depannya. Diangkatnya kepala
lelaki itu dengan tangan kanannya secara perlahan. Sorot mata lelaki
itu bagitu tajam, menatap wajah Abdullah penuh kewaspadaan. Bau tidak
sedap menyebar dari tubuh lelaki itu. Abdullah segera menutup
hidungnya,tidak tahan mencium bau busuk dari bekas luka-luka di tubuh
lelaki itu. Luka-luka di tubuhnya mulai membusuk dan bernanah. "Kamu
Hafidz?" tanya Abdullah.
Hafidz
mengangkat kepalanya ragu. Dia heran melihat pemuda Palestina yang
bisa leluasa masuk penjara di bawah tanah. Suatu hal yang mustahil
dan tidak pernah terjadi selama in. Hafidz menganggukkan kepalanya
pelan. Dari sorot matanya seakan ada sesuatu yang ingin dia katakan,
tetapi sulit. Bibirnya tampak bergerak-gerak, namun tak sepatah kata
pun yang keluar dari mulutnya. Secara pelan dan lemah sekali, dari
mulutnya terdengar kalimat Allah. "Rabbi, Rabbi...!"
Abdullah memandang haru pada lelaki yang duduk di depannya. Dia tidak
percaya lelaki itu adalah Hafidz, akak iparnya. Dendam lamanya seakan
padam begitu melihat kenyataan yang ada di depannya. Abdullah mencoba
mengingat-ingat peristiwa beberapa tahun yang lalu yang telah menimpa
ayah dan kedua kakak perempuannya. Dia sengaja membuka ingatannya
untuk membangkitkan kembali dendamnya yang hampir memudar. Dan
kakaknya meninggal secara menyedihkan, keluarganya terlantar dan kini
dialah satu- satunya orang yang harus menanggung semua kelaurganya.
Membiayai seluruh kebutuhan ibu dan kemenakannya.
"Hafidz,
kau tahu siapa aku?" tanya Abdullah, bertolak pinggang. Hafidz
menggeleng kan kepalanya. "Masa kamu lupa? Selama ini apa yang
ada di dalam ingatanmu?" Abdulah menampak kan kemarahannya.
"Rabbi...,Rabbi...,"
suara lemah itu meluncur begitu saja, keluar dari mulut Hafidz.
"Ketahuilah Hafidz akulah Abdullah. Adik kandung Zainab, anak
Abu Fatih," Abdullah menjelaskan. "Bagaimana, kau ingat
sekarang? Engkau ingat siapa Zainab? Seorang wanita yang telah
meninggal demi menyelamatkan nyawa seorang lelaki yang dicintainya?
Tetapi ternyata lelaki itu tidak pernah mempedulikannya, bahkan
membiarkan anaknya hidup menderita tanpa kasih sayang ibu dan
ayahnya?" Mata Hafidz mulai sembab, berkaca-kaca.
Butiran-butiran air mata yang jernih mengalir dari dua matanya yang
ceking. Melewati kedua pipinya yang penuh dngan goresan-goresan luka.
Air mata itu begitu jernih dan bersih. Sudah lama Hafidz tidak
menangis untuk sebuah peristiwa yang dialaminya. Tangisnya semata
untuk Allah, Rabbnya. Tapi kali ini dia benar-benar meneteskan air
mata.
Dia
ingin bangun dan berdiri. Memeluk dan mencium Abdulllah, adik
iparnya. Tapi kedua kakinya tidak dapat digerakkan. Tubuhnya sangat
lemah. Hanya sorot matanya yang seakan berbicara. "Engkau tidak
perlu menangis di depanku. Aku tidak mungkin iba melihat tangismu.
Engkau telah melakukan perbuatan yang memalukan. Sebuah perbuatan
yang menyebabkan kesengsaraan dan kehinaan...!" bentak Abdullah.
Hafidz terdiam. Dia ingin mengatakan sesuatu tetapi tertahan.
Tubuhnya mulai berkeringat. Dari sorot matanya tampak kesedihan yang
mendalam. Perlahan dia mengambil sesuatu dari balik bajunya. Sebuah
lipatan kertas lusuh. Kemudian diserahkannya kerta lusuh itu kepada
Abdullah. Abdullah dengan cepat meraih kertas itu kemudian membacanya
dengan seksama.
"Bismillahirahmanirrahim.
Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan manusia, mematikan,
dan menghidupkannnya kembali.
Saudaraku,
bila aku mati janganlah engkau tangisi kematianku. Dan bila aku telah
pergi janganlah engkau sesalkan kepergianku. Kepergianku ini adalah
untuk sebuah tujuan mulia. Kita merencanakan tapi Allah-lah yang
menentukan. Untuk ibuku tercinta, kuatkan iman dan ketabahanmu.
Kak
Hafidz aku sangat bahagia, ternyata engkau adalah seorang mujahid
pembela dan penegak dienul Islam. Dan untuk adiku yang tercinta,
Abdullah..." tangan Abdullah mulai gemetar. Dia berhenti
sejenak, diulangi lagi kata demi kata, baris demi baris. Hatinya
bergetar keras saat membaca namanya tertera di surat itu "untuk
Abdullah".
Tiba-tiba
dia meneteskan air mata haru. "untuk adikku Abdullah, teruskan
perjuangan ini. Engkau adalah pemuda Palestina. Tugasmu membebaskan
Al-Aqsa yang masih dalam cengkeraman Israel.
Abdullah,
janganlah engkau biarkan kematian kakak ini sia-sia. Jagalah Burhan,
dia adalah penerus cita-cita, biarkan dia tumbuh menjadi seorang
mujahid seperti bapaknya dan kakeknya. Adikku, Abdullah. Engakau
satu-satunya harapankku. Harapan keluarga dan harapan negeri ini yang
memang banyak menuntut pengorbanan. Kakak tunggu di surga, Amiin.
Wassalam
"Al ma'atul mukhlisah,' Zainab binti Abu Fatih.
Tubuh
Abdullah kelihatan lemas, ketika selesai membaca surat di tangannya.
Pikirannya tidak keruan. Terbayang dengan jelas dalam ingatannya,
Zainab, kakaknya yang telah meninggal, berdiri persis di depannya.
Dia tampak kecewa melihat perbuatan Abdullah selama ini. Dalam
bayangannya itu, Zainab menunduk sedih, berderai air mata. Bayangan
itu mejadi samar, buram dan kemudian menghilang. Tubuh Abdullah
gemeter, lemas dan lunglai. Butiran-butiran pilu mulai mengalir
perlahan dari jidatnya, melewati arus raut mukanya. Membasahi
keningnya kemudian butiran itu jatuh menima lantai penjara. Lantai
yang lembab itu semakin lembab dan basah. Mata Abdullah
berkunang-kunang. Secara bergantian sosok orang-orang yang dikenalnya
lalu lalang dalam benaknya. Wajah Fitri, kakaknya yang kedua, tampak
dalam ingatannya. Wajah yang menawan dan manis itu, seperti
menumpahkan kekesalan dan kemarahan.
Sebuah
wajah yang menampakkan kebencian. Sorot matanya, mengisyaratkan
sebuah kata-kata. "Engkau lelaki pengecut!" Kemudian
bayangan itu secara perlahan lenyap dan hilang. Selanjutnya disusul
bayangan ratusan pemuda, anak-anak kecil, ibu-ibu, daorang-orang yang
telah lanjut usia. Mereka menatap geram kepadanya. Memandang rendah
dan hina. Dari mulut mereka secara serentak keluar bunyi gemremeng
saling bersahutan. Membentuk gemuruh suara yang tidak beraturan.
"Anta jabban...! jabban.., jabban...!" (Engkau pengecut!)
"Kakak...!" Abdullah memeluk erat tubuh Hafidz. Dia
menangis tersedu-sedu. Tangisnya meledak dan memilukan. Dia mencoba
menahan tangisnya tapi tidak mampu. Tampak tubuhnya berguncang-
guncang menahan tangis. Hafidz membiarkan Abdullah menangis dalam
pelukannya. Membiarkan tubuhnya yang lemah itu terguncang-guncang
oleh sesenggukkan tangis Abdullah. "Kakak..,maafkan adikmu ini.
Aku seorang pengecut. Seorang yang telah mengkhianati bangsa dan
menjual tanah air sendiri. Kakak, aku telah meminum darah saudaraku
sendiri. Memakan daging mereka. Ampuni saya, Kak!" tangis
Abdullah meledak. Tangis itu membangunkan sunyi dalam penjara.
Menggetarkan kekokohan tembok-tembok tebal penjara di bawah tanah.
Menusuk kalbu yang tertidur lama dalam kungkungan penjara yang
menjerahkan.
Abdullah
merasakan tubuhnya ditarik kuat-kuat. Tercengkeram. Tangan kuat dan
kekar seakan membetot tubuhnya. Dia terus memeluk tubuh Hafidz
erat-erat, tidak mau melepaskan lagi. Cengkeraman itu semakin kuat
menarik tubuhnya yang menyatu dalam tubuh Hafidz. Dan tiba-tiba
pelukan Abdullah lepas. Dia terhempas. Tersungkur di atas lantai yang
lembab dan basah. Tercium bau anyir, kotoran tikus dan sisa makanan
yang sudah membusuk. Abdullah meringis kesakitan. Di depannya telah
berdiri seorang tentara Israel yang bertubuh besar dan menyeramkan.
Tubuh itu tinggi, menjulang hampir menjebol langit-langit penjara.
Giginya gemeletuk, saling beradu. Suaranya melengking keras,
memecahkan gendang telinga. Membuat nyali hilang tak berbekas.
Kemudian menciptakan beribu-ribu perasaan takut dan mencekam "Pergi
dari sini...!" suara itu seakan menghempaskan Abdullah jauh ke
relung-relung dan lembah ketakutan. Sepi, gelap, dan mencekam. "Apa
yang kau lakukan?" tanya lelaki kekar itu dengan garang. Belum
sempat mejawab pertanyaan itu, tiba-tiba tubuh Abdullah telah
melayang, membentur jeruji besi. Tergeletak di luar ruangan penjara.
"Kakak...!" dia berusah bangkit, berdiri dan berjalan ke
arah Hafidz. Dua tentara Israel dengan sigap menyeret tubuhnya,
meninggalkan sel nomor 24. Tubuhnya dicengkeram dua tangan yang kuat
dan kokoh.
"Engkau mengacaukan
rencana kita. Kutembak kau...!" suara letnan Yosep memekakkan
telinga Abdullah. Sebuah pistol telah menempel di kening Abdullah
0 komentar:
Posting Komentar